BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.      Latar Belakang

Tidak bisa dipungkiri lagi manusia hidup di dunia ini dengan beragam kemampuan dan kebiasaan yang berbeda-beda, saling ingin memiliki satu sama lain, mereka saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, dari mulai pemahaman, ilmu, pendidikan, bisnis, dan jual beli, hanya untuk mempertahankan kehidupannya. Segala cara mereka lakukan apapun rintangannya untuk mencari harta (uang) dan salah satunya adalah jual beli.

Kata jual beli mungkin sudah tidak asing lagi didengar, namun perlu diperhatikan bahwa dalam jual beli ternyata tidak semudah dengan apa yang kita bayangkan. Di dalam hukum jual beli ada yang di bolehkan dan ada juga yang dilarang. Oleh karena itu kami akan membahas sedikit tentang larangan-larangan dalam jual beli.

1.2.      Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan pembahasan makalah ini, agar mahasiswa mengerti dan memahami kemudian bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena mahasiswa merupakan pembawa perubahan khususnya di dalam masyarakat, maka dari itu mahasiswa harus mampu memahami persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat diantaranya dalam jual beli.

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1.      Larangan Memperdagangkan Benda Najis, Maksiat, dan Tidak Bermanfaat

Atha’ ibn Abi Rabbah menerangkan:

“Bahwasannya Jabir r.a. mendengar Nabi SAW, bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi dan patung-patung (berhala). Seorang berkata: Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai? Lemak itu biasanya digunakan untuk mencat perahu, untuk menggosok kulit dan dijadikan penerang oleh manusia? Maka beliau menjawab: Tidak boleh, itu haram. Kemudian beliau bersabda: Semoga orang-orang Yahudi itu dikutuk Allah, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemaknya, mereka sama menghancurkannya, kemudian mereka menjualnya dan memakan uangnya.” (HR. Jama’ah)[1]

Yang dimaksud dengan kalimat “bangkai” dalam hadits tersebut ialah binatang yang sudah kehilangan nyawanya, namun tidak lewat penyembelihan yang diakui oleh agama, kecuali bangkai ikan dan belalang.

Kalimat “babi” ini merupakan dalil atas diharamkannya menjual binatang tersebut dengan semua bagaian-bagiannya. Hal itu adalah berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama. Menurut madzhab Maliki yang mengatakan, bahwa ada kemurahan terhadap rambut binatang tersebut yang tidak seberapa. Motiv diharamkannya menjual babi dan juga menjual bangkai ialah adanya unsur najis, demikian menurut pendapat jumhur ulama dan itu berlaku bagi setiap yang najis. Tetapi pendapat Imam Malik yang masyhur mengatakan, bahwa babi itu suci.

Adapun mengenai diharamkannya menjual patung-patung berhala ialah, karena benda tersebut tidak adanya manfaat yang diperbolehkan. Jadi apabila benda tersebut bisa dimanfaatkan sesudah dipecah atau dihancurkan, maka menurut sebagian ulama hal itu boleh dijual. Namun mayoritas ulama tetap melarang atau mengharamkannya.[2]

2.2.      Larangan Menjual Air yang Lebih dari Keperluan Sendiri

Iyas Ibn ‘Abad menerangkan:

“Bahwasannya Nabi SAW, melarang kita menjual air yang lebih dari keperluan kita”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, An-Nasa’I, Ibnu Majah, At-Turmudzy)[3]

Menurut Al Qusyairi, hadits iyas tersebut atas syarat Imam Al Bukhari dan Imam Muslim. Hadits ini memberikan petunjuk diharamkannya menjual kelebihan air, yakni kelebihan dari keperluan yang bersangkutan. Menurut lahiriahnya hadits, dalam hal ini tidak ada bedanya apakah air yang berada di tanah hak milik, atau air untuk minum maupun untuk keperluan lainny.

Menurut Al Khithabi, secara lahiriyah yang terkandung dalam larangan hadits tersebut ialah kelebihan air minum, itu yang lekas dipahami oleh orang.

An Nawawi menceritakan pendapat beberapa orang sahabat Imam Syafi’i yang mengatakan, bahwa wajib menyumbangkan air yang berada di tanah lapang dengan beberapa syarat sebagai berikut:

  1. Tidak ditemukannya sumber air yang lain buat memenuhi kebutuhan
  2. Sumbangan air tersebut diperuntukkan buat hewan ternak
  3. Pemiliknya sudah tidak memerlukan air.

Yang diperbolehkan menjual air, apabila air yang sudah ditempatkan dalam bejana tertentu, kemudian air semacam aqua dan lain-lain yang sudah di kemas. Air seperti itu boleh dijual.[4]

2.3.      Larangan Menerima Bayaran Untuk Hewan Pejantan

Ibnu Umar r.a menerangkan:

“Nabi SAW melarang kita menerima harga mani (sperma) hewan pejantan (landuk)”. (HR. Ahmad, Al-Bukhary, An Nasa’I)

Hadits ini mengemukakan, bahwa sesungguhnya menjual air (mani) pejantan dan juga menyewakannya itu hukumnya haram, soalnya ia tidak bisa dinilai, tidak bisa diketahui dan tidak kuasa untuk diserahkan. Itulah pendapat jumhur dan juga pendapat ulama-ulama dari kalangan madzha Syafi’i dan madzhab Hambali. Sedangkan Al Hasan dan Ibnu Sirin yang mengutip pendapat Imam Malik mengatakan, bahwa sesungguhnya boleh menyewakan pejantan untuk bersetubuh dalam jangka waktu tertentu.

2.4.      Larangan Jual Beli Secara Gharar (Mengandung Unsur Penipuan)

Bersumber dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi SAW, melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli secara gharar.” (HR. jama’ah dan Al-Bukhari)

Terjadi perselisihan pendapat dalam memberikan tafsiran dalam kalimat: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu.” Ada yang berpendapat, bahwa hal itu contohnya seperti seseorang mengatakan: “Aku menjual kepadamu diantara pakaian-pakaian ini, mana yang terkena lemparan batu ini, maka itulah yang aku jual.” Atau “Aku jual tanah ini sejauh lemparan batu yang aku lempar.” Ada yang berpendapat, yaitu syarat hak khiyar (memilih) sampai batu dilemparkan. Pendapat terakhir tersebut diperkuat oleh riwayat Al Bazzari dari Hafash bin Ashim, sesungguhnya dia mengatakan: “Yang  dimaksudkan hal itu ialah, apabila batu sudah dilemparkan, maka jual beli itu pun jadi.”

Yang termasuk jual beli secara gharar ialah seperti menjual ikan yang masih ada di dalam air. Atau menjual burung dalam angkasa. Semuanya adalah termasuk dalam kategori jual beli secara gharar, yang tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’.

2.5.      Larangan Jual Beli Dengan Mengecualikan Sebagian Dari Barang yang Dijual

Bersumber dari Jabir: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang penjualan muhaqalah (menjual gandum yang masih dalam tangkalnya) dan penjualan muzabanah (menjual secara sukatan, menjual anggur yang masih putik dengan yang sudah kering dengan sukatan) dan penjualan yang pengecualiannya desebut secara samar (kabur, tidak jelas), terkecuali disebutkan degnan jelas.” (HR. An-Nasa’I dan At-Turmudzy)

Hadits ini menyatakan bahwasannya penjualan secara muhaqalah dan muzabanah, dan menjual dengan menyebutkan pengecualian secara samar, tidak sah. Contohnya: seseorang menjual sepetak kebun dan dia mengecualikan sebatang pohon yang terletak di dalamnya dengan tidak secara jelas menentukan pohon yang dikecualikannya. Begitu pula seseorang menjual salah satu rumah dari sekian buah rumahnya (tanpa menentukan secara jelas rumah yang akan dijualnya). Namun jika secara tegas disebutkan pengecualiannya, penjualan tersebut sah.

Asy-Syafi’y berkata: jika pengecualiannya secara tegas disebutkan dalam penjualan, maka penjualannya sah. Jika pengecualiannya disebutkan secara samar, penjualan tersebut tidak sah.

Sebagian ulama berkata: jika pengecualian itu dilakukan dengan meminta jangka waktu tertentu (untuk menentukan mana yang dikecualikan), penjualan seperti itu sah.

Dhahir hadits ini, dengan jelas menerangkan bahwasannya setiap pengecualian yang samar, membatalkan akan jual beli. Hikmahnya adalah untuk menghindari adanya unsur penipuan dengan pengecualian secara samar itu.

 

2.6.      Dua Bentuk Penjualan Dalam Satu Penjualan

Abu Hurairah r.a berkata: “Barang siapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka baginya pembayaran yang kurang atau riba.” (HR. Abu Daud)

Imam Asy-Syfi’I mencontohkan penjualan ini sebagai berikut:

Si penjual menawarkan kepada pembeli, dengan harga Rp. 1.000,- tunai, ataupun menjadi Rp. 2.000,- jika secara berhutang. Terserah kepada si pembeli untuk memilih.

Kemudian ada yang menafsirkan begini, si penjual menawarkan seorang budak dengan harga tertentu, dengan syarat si pembeli menjual rumahnya kepadanya. Bila syarat ini diterima, maka transaksi berlangsung.

2.7.      Larangan Penjualan Secara ‘Arbun

Amar ibnu Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Nabi SAW, melarang penjualan dengan lebih dahulu memberikan uang muka dan uang itu hilang, kalau pembelian tidak diteruskan. (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Abu Daud)

Penjualan yang menyertai ‘arbun, ialah seseorang pembeli atau penyewa mengatakan: “Saya berikan lebih dahulu uang muka kepada anda. Jika pembelian ini tidak jadi saya teruskan, maka uang muka itu hilang, dan menjadi milik anda. Jika barang itu jadi dibeli maka uang muka itu diperhitungkan dari harga yang belum dibayar.

2.8.      Larangan Menjual Perasan Anggur Kepada Orang yang Akan Membuatnya Menjadi Arak

Anas ibnu Malik r.a berkata: “Rasulullah SAW telah mengutuk sepuluh perkara terhadap arak: yang memerasnya, yang menyuruh memerasnya, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan kepadanya, yang membeli minumannya, yang menjualnya, yang makan harganya dan membelinya dan yang dibelikan untuknya.” (HR. At-Turmudzy dan Ibnu Majah)

Al-Madju Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits ini, bahwa menjual perasan anggur kepada orang yang akan menjadikannya arak dan menjual sesuatu yang membantu perbuatan maksiat, haram.

Perbuatan-perbuatan ini diharamkan jika memang kita ketahui benar, bahwa apa yang kita jual itu untuk dijadikan arak. Jika tidak diketahui bahwa yang kita jual akan dijadikan arak, maka sebagian ulama membolehkan walaupun makruh.

2.9.      Larangan Menjual Barang yang Belum Dimiliki

Hakim ibn Hizam r.a berkata: “Saya berkata: Ya Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku, meminta aku menjual barang yang belum ada padaku. Kemudian baru aku membelinya di pasar. Nabi SAW bersabda: “Jangan engkau jual apa yang tidak ada pada engkau.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah)

Hadits ini masuk kedalam makna: menjual benda yang belum ada pada kita, ialah menjual burung yang terlepas dari sangkar, yang lazimnya tidak kembali kesangkarnya. Jika dia biasa kembali pada malam hari, maka menurut jumhur ulama tidak sah juga, terkecuali lebah yang di pandang boleh oleh An-Nawawi.

2.10.  Larangan Menjual Suatu Barang Kepada Seseorang Kemudian Dijual Lagi Kepada Orang Lain

Samurah r.a berkata: “Nabi SAW bersabda: Siapa saja perempuan yang dikawinkan oleh dua orang wali, maka perempuan itu bagi wali yang pertama. Dan apa saja benda yang dijual kepada dua orang, maka benda itu bagi yang pertama dari keduanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan At-Turmudzy)

Apabila seseorang perempuan dinikahkan oleh dua wali untuk dua orang lelaki, maka si perempuan itu menjadi isteri orang yang lebih dahulu diterima akadnya. Dan menyatakan pula, bahwa apabila seseorang menjual sesuatu kepada seseorang, kemudian barang itu dijual lagi kepada orang lain, maka penjualan yang kedua batal.

Hadits ini jelas menunjukkan, bahwa penjualan yang pertamalah yang dipandang sah, sedang penjualan yang kedua dipandang batal, karena penjualan yang kedua berarti menjual barang yang bukan miliknya lagi.

2.11.  Larangan Jual Beli Dimana Barang dan Pembayarannya Adalah Secara Tidak Tunai

Bersumber dari Ibnu Umar r.a: “Sesungguhnya Nabi SAW melarang menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai.” (HR. Imam Daruquthni)

Kalimat “menjual (barang yang belum ada) dengan pembayaran yang tidak tunai” ini, kalau dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam hakim dari Abu Al Walid Hassan berbunyi “menjual sesuatu yang tidak kontan dengan cara pembayaran yang tidak kontan pula”. Demikianlah yang dikutip oleh Abu Ubaidah dan Imam Daruquthni dari ahli bahasa. Sedangkan kalimat yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Nafi’ berbunyi: “menjual hutang dengan hutang.”

Yang terang, hadits tersebut menunjukkan ketidak bolehan menjual barang secara pinjaman dengan pembayaran secara pinjaman pula. Hal itu adalah berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’), sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Sama dengan hal tersebut adalah akad jual beli barang yang belum ada dengan pembayaran yang tidak tunai.[5]

2.12.  Larangan Menjual Barang yang Sudah Dibeli Namun Belum Diterima

Dari Jabir ibnu Abdillah r.a “Rasulullah SAW, bersabda: Apabila engkau membeli sesuatu barang (gandum), maka jangan engkau menjualnya sebelum barang tersebut engkau terima dengan sempurna.” (HR. Ahmad dan Muslim)

Jumhur ulama menetapkan bahwa menjual sesuatu barang yang belum diterima, seperti makanan yang belum disukat (ditimbang), ataupun yang sudah disukat, tidak boleh. Namun Utsman Al Baity, membolehkan.

Malik berpendapat bahwa yang dibolehkan hanyalah makanan yang tidak perlu disukat (ditimbang). Demikian juga pendapat Al- Auzy dan Ishaq.

Hadits ini merupakan pedomana dalam kita menjual barang dagangan yang belum berada dibawah penguasaan kita. Barang dagangan baru boleh dijual, bila si pembeli langsung dapat menerima barang tersebut.

2.13.  Larangan Menjual Barang Sebelum Ditimbang Kembali

Jabir ibnu Abdullah berkata: “Nabi SAW, melarang kita menjual makanan sebelum disukat (ditimbang) dua kali. Sukatan penjual dan sukatan pembeli.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daraquthni)

Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang membeli makanan dan telah disukat, kemudian barang tersebut akan dijual kepada orang lain, maka hendaklah barang tersebut disukatnya kembali, tidak boleh dicukupkan dengan sukatan pertama.

Menurut Atha’, boleh dijual dengan sukatan pertama, jika dijual dengan harga tunai. Namun jika dijual secara hutang, harus disukat kembali.

Dhahir hadits ini menguatkan mazhab jumhur, yakni tidak ada perbedaan antara penjualan tunai dengan penjualan hutang. Dan hal ini tidak berlaku mengenai barang makanan yang dibeli secara bertumpuk.

2.14.  Larangan Orang Kota Menjual Sesuatu Kepunyaan Orang Desa

Ibnu Umar r.a berkata: “Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual sesuatu barang yang dititipkan kepadanya oleh orang desa.” (HR. Al-Bukhary dan An-Nasai’i)

Hadits ini menunjukkan tidak dibolehkannya orang kota menjual barang orang desa, tanpa ada perbedaan antara orang-orang yang berkerabat ataupun bukan, baik dimasa mahal ataupun dimasa murah. Baik barang yang diperlukan oleh penduduk kota ataupun tidak, baik dijual secara diangsur atau tunai.

Golongan hanafiyah berpendapat, bahwasannya larangan ini khusus di zaman mahal dan khusus pula dengan barang-barang yang dibutuhkan penduduk kota.

Menurut Syafi’iah dan Hambalilah, bahwa yang dilarang itu, ialah seorang penduduk desa datang ke kota membawa barang dengan maksud penjualannya dengan harga hari itu. Seorang penduduk kota (pasar) mengatakan: “letakanlah barang ini padaku, akan kujual berangsur-angsur dengan harga yang lebih mahal dari harga hari ini.” Dan dikaitkan dengan orang desa, ialah mereka yang tidak mengetahui harga pasar.

2.15.  Larangan Menjual Barang Dengan Cara Najasyi

Bersumber dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Nabi SAW, melarang penduduk kota menjual barang yang dititipkan padanya oleh penduduk desa, dan menjual dengan cara najasyi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Menurut istilah syara’, najasyi ialah tidakan seorang pedagang yang sengaja menyuruh orang lain agar memuji barang dagangannya atau menawarnya dengan harga tawaran yang cukup tinggi, dengan maksud agar orang lain tertarik ikut-ikutan membelinya karena dia merasa harganya tidak mahal.

Imam Syafi’i mengatakan: “Najasyi ialah seseorang menawar suatu barang padahal tidak bermaksud membelinya. Melainkan dia hanya bermaksud agar orang lain ikut menawarnya, kemudian orang lain itu membelinya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga yang semestinya.”

2.16.  Larangan Menunggu Barang Dagangan Dipinggir Kota

Ibnu Mas’ud r.a menerangkan: “Nabi SAW, melarang kita menunggu barang dagangan diluar pasar.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Jumhur ulama mengatakan bahwa menunggu barang dagangan diluar pasar (dipinggir kota) tidak boleh. Mereka ada yang mengharamkan perbuatan itu dan ada pula yang memakruhkan.

Abu hanifah membolehkan. Namun didalam kitab-kitab Hanafiah, perbuatan tersebut dimakruhkan. Pendapat Abu Hanifah ini adalah menurut Ibnul Munzir. Tentang kemakruhannya jika hal itu menimbulkan kemudaratan bagi penduduk kota serta mengaburkan harga pasar kepada para pembeli.

Sebagian ulama Malikiah dan Hanbaliah, tidak mensahkan transaksi ini. Setiap larangan memerlukan alasan tentang dasar hukumnya (bahwa yang dilarang adalah setiap perbuatan yang tidak sah).

Para ulama berselisih pula tentang hak membatalkan transaksi (hak khiyar). Menurut paham hanbaliah, si penjual punya hak penuh untuk membatalkan, walaupun tidak ada unsur penipuan dalam transaksi tersebut. Inilah yang dipandang lebih shahih oleh golongan Syafi’iah. Menurut Malik, tidak sah jika menimbulkan kerugian bagi pihak penjual, dan menguntungkan si pembeli. Ulama Kufah dan Al Auza’y, condong kepada pendapat ini.

Sebagian ulama mengatakan, bahwa yang haram adalah jika si penunggu barang sengaja melakukannya. Jika dia hanya kebetulan lewat, dan berjumpa dengan pembawa barang yang kemudian terjadi transaksi jual beli, tidak diharamkan.

Al Juwaini mengharamkan, jika pembelian itu jauh lebih rendah dari harga pasar.

Menurut Al-Muntawalli diharamkan, jika si pembeli memperoleh harga murah dengan jalan penipu, misalnya menakut-nakuti dengan mengatakan bahwa dia akan memerlukan ongkos besar jika menjualnya sendiri di pasar, ataupun mengatakan bahwa preman pasar akan memungut retribusi di luar peraturan resmi.

2.17.  Larangan Menjual Atas Penjualan Orang Lain, Menawar Atas Tawaran Orang Lain, Terkecuali Penjualan Secara Lelang

Ibnu Umar r.a menerangkan: “Janganlah kamu menjual atas penjualan saudaranya, dan jangan meminang atas pinangan saudaranya, terkecuali kalau sudah ada izin.” (HR. Ahmad)

Menawarkan barang atas penawaran orang lain, adalah bila seseorang mengatakan kepada si pembeli: Kembalikan barang tersebut, anda dapat membeli dari saya dengan harga yang lebih murah, atau akan mendapatkan barang dengan kualitas yang lebih baik. Atau bisa juga: Minta kembali barang tersebut, saya akan membelinya dengan harga yang lebih tinggi. Kedua macam jenis transaksi di atas haram, jika antara para pihak sebelumnya telah terjadi kesepakatan harga.

2.18.  Jual Beli Tanpa Menghadirkan Saksi

Syihab Az-Zuhry mengatakan: “Bahwa pamannya menceritakan kepada Amrah (pamannya tersebut adalah sahabat Nabi), bahwa Nabi telah membeli seekor kuda dari Arab Badui (penghuni gurun), Nabi menemuinya untuk membayar harga kuda. Nabi berjalan cepat sedang sang Badui berjalan lambat. Beberapa orang mencegat orang Badui dan menawar kudanya. Mereka tidak mengetahui bahwa Nabi telah membelinya. Karena itu sang badui memanggil Nabi dan berkata: Jika anda jadi membeli kuda ini, bayarlah, jika tidak aku akan menjualnya kepada orang lain. Kala mendengar ucapan badui tersebut, Nabi mengatakan: Bukankah kuda ini sudah saya beli? Badui menjawab: tidak. Demi Allah saya tidak menjualnya kepada anda. Nabi berkata: aku benar-benar telah membelinya. Sang Badui menjawab: Ajukanlah saksi. Khuzaimah berkata: Sayalah sakinya, bahwa engkau telah menjualnya kepada Rasulullah. Mendengar itu Nabi mengatakan kepada Khuzaimah: dengan cara apa engkau menjadi saksi? Khuzaimah menjawab: karena aku membenarkan anda, ya Rasulullah. Nabi menjadikan kesaksian Khuzaimah sebagai saksi yang dilakukan oleh dua orang.” (HR. Ahmad, An-Nasa’I, dan Abu Daud)

Yang dimaksud saksi ialah seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” Namun perintah tersebut tidak berkonotasi wajib, melainkan sunnah.

Ada yang berpendapat, bahwa atay tersebut sudah dinaskh (dibatalkan) oleh firman Allah ta’ala: “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagia yang lain.” Ada pula yang berpendapat, bahwa ayat tersebut tetap berlaku dan tidak dinaskh.

Asy-Syafi’y berkata: jika kehadiran saksi diperlukan pada saat transaksi jual beli tentulah Rasulullah tidak akan membeli sesuatu dari seseorang tanpa ada saksi. Karenanya, perintah Allah agar setiap perbuatan harus disaksikan oleh orang ketiga, merupakan perintah sunat. Dengan perbuatan Nabi diatas, maka hukum wajib sudah dipalingkan menjadi hukum sunat.

Kata Ath-Thabarany, tidak halal bagi seseorang Muslim mengadakan transaksi jual beli, tanpa ada saksi, karena menyalahi kitabullah.

Namun menurut Ibnu Araby, seluruh ulama sepakat bahwa kehadiran saksi bersifat sunat.[6]

BAB III

PENUTUP

 

3.1.      Kesimpulan

Penjelasan diatas sangatlah jelas mengenai larangan-larangan dalam jual beli, banyak hadits-hadits yang memuat penjelasan tentang larangan dalam jual beli. Setiap apa yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya tentunya membawa kemaslahatan bagi kehidupan di dunia dan kelak nanti di akhirat, karena di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 7 sudah jelas di sebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat keras hukumannya.”

Oleh karena itu, sebagai umat Islam tentunya harus paham terhadap Fiqih Muamalah. Hal ini disebabkan Fiqih Muamalah merupakan aturan yang menjadi pengarah dan penggerak kehidupan manusia. Fiqih Muamalah menjadi salah satu unsur perekayasaan aturan mengenai hubungan antar manusia khususnya dalam jual beli.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Musthafa, Adib Bisri. 1994. Terjemahan Nailul Authar Jilid V. Semarang: CV. Asy Syifa.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2001. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Semarang: PT. Petraya Mitrajaya.

Diibul Bigha, Musthafa. 1994. Al-Tahdzib fi Addilatimatni Al-Gaayati wa Al-Taqrib (Ikhtisar Hukum-hukum Islam Praktis). Semarang: CV. Asy Syifa.

Al Jaziry, Abdurrahman. 1994. Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahibul al-‘Arba’ah (Fiqh Empat Madzhab). Semarang: CV. Asy Syifa.

 


[1] Musthafa Diibul Bigha, Ikhtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 471.

[2] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 455-456.

[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, (Semarang: PT. Petraya Mitrajaya, 2001), hlm. 9.

[4] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 462.

[5] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 489.

[6] Adib Bisri Musthafa, Nailul Authar Jilid V, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), hlm. 521.

Fluktuasi Iman

Posted: April 30, 2011 in Tauhid

KH. Jaja Abdul JabbarDitulis oleh KH. Jaja Abdul Jabbar   

Iman itu bertambah dengan banyak melakukan taat dan berkurang karena melakukan maksiat” (Tafsir al-Baidhowi, jilid 1 hal. 380).

Ulama berbeda pendapat mengenai iman, apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang atau tidak. Menurut sependapat bisa bertambah dan berkurang, menurut pendapat lain tidak bisa bertambah dan berkurang.

Ulama yang berpendapat bahwa iman bisa bertambah dan berkurang berdasarkan kepada dalil-dalil berikut ini :

1. Dalil al-Quran, diantaranya surat al-Anfal ayat 2 :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Alloh maka gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal“.

Imam Bukhari dan imam lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa iman bisa bertambah dan saling mengungguli dalam hati.

2. Sebagian besar ulama mengidentikkan iman dengan taat, berdasarkan kepada hadits Rosululloh SAW :

Iman itu mempunyai 77 pintu, pintu yang paling atas adalah ucapan “Laa Ilaaha Illalloh” dan yang paling rendah adalah membuang duri dari jalan, dan malu itu merupakan cabang dari iman” dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. (Tafsir Khozin, Juz 1 hal. 8).

Dengan demikian menurut pendapat pertama, pengertian iman di sini bukan kepada pokok utama dari iman itu sendiri, melainkan kesempurnaan amal, sebab derajat bertambahnya keimanan seseorang diukur dengan banyaknya melakukan amal baik. Sebaliknya kurang iman karena kurangnya melakukan amal baik, bahkan melakukan maksiat. Naudzubillahimindzalik. Karena itu iman bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan ketaatan orang tersebut.

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa iman tidak bisa bertambah dan berkurang mempunyai alasan dalam beberapa kitab dijelaskan, Iman adalah :

Membenarkan dalam hati kepada segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW“. (Syarah Safinatunnaja hal.8)

Berarti kalau iman berkurang maka kedudukan tashdiq (membenarkan) berubah menjadi syak (ragu-ragu). Perubahan kedudukan ini menyebabkan seseorang menjadi kafir, karena tidak ada perantara antara iman dengan kafir.

Dari dua pendapat tersebut yang diunggulkan adalah pendapat yang pertama, sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab Jauharut Tauhid hal. 31 :

Dan merupakan pendapat yang diunggulkan yaitu iman manusia bertambah dengan bertambahnya ketaatan kepada Alloh SWT“.

Setiap Muslim diharuskan untuk senantiasa menjaga kesempurnaan iman yang tertancap di dalam hati dengan melakukan berbagai amal baik, sebab apabila iman terus dipupuk maka iman akan bersinar dan sinarnya memancar ke seluruh anggota tubuh pemiliknya, mata, tangan, kaki dan sebagainya.

Iman yang telah terpancar ke seluruh tubuh maka setiap anggota tubuh terasa berat untuk melakukan maksiat kepada Alloh SWT.

Iman yang telah tertancap dalam hati seorang Mukmin, bagaikan sebatang pohon yang mempunyai beberapa tangkai“.

Mudah-mudahan Alloh SWT. selamanya melimpahkan kekuatan kepada kita semua, untuk bisa meningkatkan keimanan dengan melakukan berbagai amal baik, amiin.

Ditulis oleh KH. Sholeh Nasihin

Rosululloh mengatakan bahwa ada empat ciri yang bisa membawa ke sorga dalam keadaan selamat :

1. Memasyhurkan salam
2. Memberi shodaqoh makanan
3. Shilaturrahmi kepada sanak saudara
4. Sholat pada malam hari (Tahajjud)

Adapun haqiqat yang memasukkan ke sorga adalah Alloh (bukan amal) tapi Alloh memberi ciri bagi hambaNya.
Seluruh ummat manusia di muka bumi ini tidak ada seorang pun yang mengharapkan kecelakaan dan kesesatan. Dengan perjuangan yang begitu dahsyat untuk mempertahankan kehidupannya agar senantiasa dalam keadaan hidup bahagia. Yang berkerja keras di suatu perusahaan bukan karena ingin bekerja tapi ada tujuan agar hidupnya bahagia mempunyai harta kekayaan serta dapat memberi nafkah bagi keluarganya, begitu juga orang miskin dengan jerih payahnya mereka memberanikan diri jadi tukang, berdagang seadanya demi sesuap nasi.
Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan di dunia ini adalah segalanya padahal itu hanyalah satu persen yang diberikan Alloh kepada hambaNya mulai dari Nabi Adam AS. hingga manusia akhir zaman. Kebahagiaan itu hanyalah sebuah fatamorgana, kebahagiaan itu hanyalah tipu daya untuk menguji kita, akankah kita selamat dan masuk sorga? Pertanyaan ini akan membuat kita berpikir serius dan hanya kepada Alloh kita berharap agar dengan Qudrot dan RidloNya kita dapat diselamatkan dari siksa api neraka. Aamiin.
Maka kita perlu mengetahui tentang cara yang telah dijelaskan bahwa Alloh memberi ciri bagi orang yang akan masuk sorga dalam keadaan selamat yaitu :

1. Memasyhurkan Salam

Ketika kita berjumpa dengan mukmin maka kita sunnat mengatakan Assalamu’alaikum, apalagi bila umur kita lebih muda dari yang diajak salam. Disunnatkan lagi memulai salam bagi yang sedang berjalan kepada orang yang sedang duduk, dan juga sebelum kita berpidato.
Hukum memulai salam adalah sunnat, hukum menjawab salam adalah wajib ‘aeni bila seorang, wajib kifayah bila menjawabnya dua orang atau lebih. Tapi dalam segi keunggulannya lebih utama memberi salam daripada menjawab salam. Oleh sebab itu sering-seringlah memberi salam kepada mukmin karena salam itu merupakan sebuah du’a keselamatan dari siksa.

2. Memberi Shodaqoh Makanan

Alangkah baiknya kita bershodaqoh (sedekah) setiap hari meski sedikit, malah Rosululloh SAW. mengatakan “Meski dengan tulang domba” karena dengan bersedekah akan menolak balai dan menolak kebimbangan diri.

3. Shilaturrahmi kepada sanak saudara

Kita harus tahu silsilah keturunan keluarga dan harus bisa menata bahasa panca kaki seperti memanggil kepada paman jangan memanggil seperti kepada seorang kakak dan yang lainnya.

4. Sholat pada malam hari (Tahajjud)

Sebagaimana firman Alloh dalam surat Al-Isro` 79; Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.

Pada hari Mahsyar seluruh manusia akan dikumpulkan di satu lapangan luas, lalu Alloh memanggil orang-orang yang sering sholat pada malam hari tapi yang memenuhi panggilan itu sangat sedikit, setelah itu Alloh langsung memasukkan mereka ke dalam sorga tanpa adanya hisaban (perhitungan amal).
Pada bahasan ini kita pun sangat mengharap agar kita langsung dimasukkan ke dalam sorga oleh Alloh tanpa adanya hisaban maka mari mulai sekarang kita laksanakan yang empat ini.
Semoga apa yang kita lakukan merupakan pekerjaan yang diridloi oleh Alloh SWT. Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin.

Ditulis oleh KH. Asep A. Maoshul Affandy

Supaya kita mendapatkan Rohmat dan Maghfiroh Alloh ketika berhubungan dengan saudara seagama caranya :

1. Harus saling akur atau islah.
2. Jangan saling caci-maki.
3. Jangan memaki diri sendiri.
4. Jangan memanggil dengan bahasa yang tidak terpuji.
5. Jauhkan diri dari prasangka buruk.
6. Jangan mencari kesalahan orang lain.
7. Jangan membicarakan kejelekan orang lain.

Melihat kondisi zaman sekarang yang dilatarbelakangi oleh rupa-rupa kepentingan (pribadi & masyarakat umum) juga keprihatinan sosial, perilaku pembicaran seseorang sudah tidak diatur. Tidak sedikit yang belok dari aturan Alloh sehingga sesama ummat Islam saling mencaci-maki.
Kita selaku ummat yang beriman, tentunya ingin mendapatkan Rohmat dan Maghfiroh Alloh. Bagaimana caranya? Perlu disadari bahwa ummat itu terbagi dua :
1. Ada yang beriman
2. Ada yang tidak beriman (kafir)

Interaksi ummat Islam dengan kafir, Islam dengan Islam ada aturan yang harus diperhatikan, sebagaimana firman Alloh surat Al-Hujurot ayat 10; Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Alloh, supaya kamu mendapat Rahmat.
Oleh karena itu untuk mempertahankan Ukhuwah Islamiyyah maka dengan bertaqwa. Koridor kehidupan sesama ummat Islam harus memakai aturan Islam didasari oleh taqwa, insya’ Alloh kita akan mendapatkan Rohmat dan Maghfiroh Alloh. Caranya :
1. Harus saling akur atau islah.

Pada surat Al-Hujurot ayat 10 di atas yang dimaksud dengan saling akur bukan seperti faham komunis (sama rata – sama rasa) tetapi saling memberi peluang kepada orang lain. Contohnya komunikasi si A dan si B tidak aman (mereka harus saling memahami dalam perkara yang berhubungan dengan taqwa kepada Alloh) maka si C harus segera mendamaikan.
2. Jangan saling caci-maki.

Seperti mencaci seseorang dengan menyebut “si Jebleh, si Pendek” meskipun buktinya begitu. Sebab saling caci bisa jadi yang dicaci lebih baik pribadinya daripada yang mencaci maka alangkah baiknya apabila saling menutupi kekurangan.
3. Jangan memaki diri sendiri.

Larangan memaki kepada orang lain, begitu pun kepada diri sendiri. Maka jangan memaki orang lain dan diri sendiri dengan ucapan atau tingkah laku seperti seorang miskin mengajak orang berada untuk mampir ke rumahnya dengan bahasa “ayo kita mampir dulu ke gubuk saya” padahal rumah tersebut lebih bagus dari apa yang dikatakannya. sebab seolah si miskin tidak menerima akan nugraha yang telah diberikan Alloh kepadanya (ini temasuk kufur nikmat).
Jadi manusia jangan minder, jangan melakukan pekerjaan yang membuat kita hina diri! Contoh lagi; jarang mandi, jarang bersih-bersih di rumah, jarang menghafal, apalagi tidak pernah ngaji ilmu agama, itu pun akan membuat kita hina karena dengan ilmu kita akan menjadi seorang mulia.
4. Jangan memanggil dengan bahasa yang tidak terpuji.

Diantara perilaku yang tidak boleh dilakukan oleh sesama ummat Islam yaitu memanggil dengan kata-kata jelek sebab akan menyakiti perasaan yang dipanggil, bila sudah sakit hatinya maka bahaya yang ditimbulkannya akan lebih besar. Sering terjadi banyak hilang nyawa karena masalah lidah. Memanggil orang lain “si Beke” karena badannya pendek padahal namanya Syamsuddin, nyebut “si Putih” padahal kulitnya hitam, namanya Ahmad Munawwar.
5. Jauhkan diri dari prasangka buruk.

Seperti mengajak tersenyum padahal maksudnya mentertawakan.

6. Jangan mencari kesalahan orang lain.

Karena tidak suka kepada seseorang tanpa alasan, dia berani memfitnah dan mengajukan ke pengadilan agar yang dibencinya masuk penjara. Kita jangan berani mencari kesalahan orang lain, tapi bila kita menemukan kesalahan mereka maka kita harus segera menegurnya bahwa kelakuan tersebut adalah salah.
7. Jangan membicarakan kejelekan orang lain.

Zaman sekarang namanya membicarakan kejelekan orang lain (gosip) banyak diacarakan di setiap televisi, hukumnya antara yang memberitakan dan yang menyimaknya (menonton dan mendengarnya) sama dosanya bahkan termasuk dosa besar. Maka kita harus hati-hati dan memilah mana yang manfa’at dan mana yang madharat.
Tentunya bila yang tujuh rupa ada dalam diri seorang mukmin, bagaimana akan datang Rohmat dan Maghfiroh Alloh? Yang ada malah mendapatkan celaka di dunia dan nanti di akhirat. Marilah dari sekarang kita bertaubat kepada Alloh dan saling meminta maaf di antara kita karena sesungguhnya mukminin adalah bersaudara.

Ditulis oleh KH. Abdul Aziz Affandy

Rosullulloh SAW bersabda; “Ummat kami akan terpecah menjadi 73 (Tujuh Puluh Tiga) golongan dan semuanya akan masuk neraka kecuali satu yakni Ahli Sunnah wal Jama’ah”. Apa yang menjadi penyebabnya? Mereka semua tidak bisa membersihkan diri dari musyrik kepada Alloh dan tidak mengakui Nabi Muhammad SAW adalah utusan Alloh.

Oleh karenanya marilah kita bersihkan diri kepada Alloh dengan 3 jalan :

  1. Bersihkan diri secara ’aqidah (dalam berkeyakinan kepada Alloh). Gagal imannya meski masih ada keraguan dalam hati tentang keyakinan terhadap Alloh.
  2. Bersihkan secara ‘ubudiyyah (dalam beribadah). Gagal ibadahnya bila melakukan sesuatu tanpa disertai ilmu agama. Rasa diri ahli ibadah, ziarah ke para wali di tiap tempat, ternyata meminta kepada wali.
  3. Bersihkan hati dari kotoran dan dosa.

Manajemen manusia ada 3 :

  1. Manajemen jasad. Tidur malam hari, kerja siang hari. Jangan dibalik yang akhirnya akan celaka.
  2. Manajemen qolbu. Merancang hati, bagaimana caranya supaya sikap kita berbuat baik kepada orang lain? Jika ada orang yang menghina kita, lekaslah baca “Alhamdulillah” apa sebabnya? Sebab kita tidak akan tahu kekurangan & kejelekan diri kecuali ditemukan oleh orang lain maka kita harus membaca “Alhamdulillah” dengan datangnya hinaan itu kita jadi tahu kekurangan diri.
  3. Manajemen interaksi antara diri dengan Alloh (ibadah)
Alloh Maha Bersih dari segala rupa kejelekan dan sangkaan orang kafir yang berprasangka bahwa Alloh mempunyai anak (Nabi Isa) dan isteri (Siti Maryam). Padahal Alloh Maha Bersih dari segala rupa prasangka jelek dari makhluk-Nya.

Alloh SWT berfirman dalam surat al-Hasyr ayat 23; “Dialah Alloh yang tiada tuhan selain Dia, Raja yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengkaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan”.

Ditulis oleh KH. Abdul Aziz Affandy

Segala puji kita panjatkan kepada Alloh SWT. yang Maha Kaya, yang tidak membutuhkan apapun dan siapapun, yang hanya kepadaNyalah kita meminta dan mengadu.

Sudah menjadi fitrah manusia datangnya cobaan, banyaknya kebutuhan menghampiri menjadikan hidup tidak seimbang, selera makan berkurang, susah tidur, dan bahkan waktu satu jam pun bagai setahun.

Cobaan berbagai kebutuhan ibarat seekor binatang buas dan liar. Kalau saja kita tidak bisa memeliharanya dia akan menjadi semakin buas dan liar sehingga timbul masalah besar. Begitu pula dengan cobaan kalau saja kita tidak bisa menghadapinya maka cobaan tersebut akan menimbulkan berbagai kemadaratan yang fatal bahkan kekufuran ancamannya. Selaras dengan hadits Nabi Muhammad SAW. yang mengatakan :

“Hampir saja kefakiran menjadikan kekufuran”.

Memang kefakiran terkadang melunturkan keimanan seseorang. Banyak sekali contoh yang terjadi seperti orang miskin hanya karena butuh makan ia rela menjual keimanannya dengan sejumlah sembako atau yang hanya menginginkan kesehatan ia rela pergi ke rumah sakit misionaris kafir walaupun sebelum pulang ia terlebih dahulu menanggalkan keimanannya.

Tapi kalau kita sadar bahwa jati diri kita adalah sesungguhnya makhluk yang diliputi kebutuhan dan kekurangan, dan kita tahu bahwa hanya Allohlah yang Maha Kaya, yang tiada membutuhkan apapun, lalu kita berdo’a dan mengadu kepadaNya, dengan demikian menunjukkan bahwa kita membutuhkan kasih sayang Alloh yang Maha Pengasih kepada hamba-hambaNya yang akhirnya ibadah kita akan maksimal. Syaikh Ibnu ‘Athoillah dalam kitab al-Hikamnya berkata :

“Terkadang bertambahnya kesempurnaan iman dapat kita temui dari timbulnya satu kebutuhan yang mana ini tidak ditemukan dalam ibadah puasa dan sholat”.

Sehingga bagi para Muridin  (orang-orang yang hanya menghendaki keridloan Alloh) kebutuhan merupakan momen yang sangat indah untuk mendapatkan ridlo Alloh (kebahagiaan haqiqi). Ini juga berdasarkan komentar Syaikh Ibnu ‘Athoillah dalam al-Hikamnya hal.75 :

“Datangnya kebutuhan merupakan i’ednya para Muridin”.

Bahkan orang yang diangkat derajatnya oleh Alloh dikarenakan telah berhasil melewati cobaan yang menerpanya. Seperti halnya kisah Nabi Ibrahim AS. yang ingin mempunyai keturunan sehingga ia terus berdo’a dan meningkatkan keimanan dan ibadahnya kepada Alloh SWT. Sampai puluhan tahun yang akhirnya tatkala usia istrinya tidak muda lagi yaitu genap 80 tahun, Nabi Ibrohim baru dikaruniai seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi utusan Alloh dan diangkat derajatnya dengan tanda kenabian dengan gelar Kholilulloh (Kekasih Alloh).

Oleh karena itu, cobaan janganlah menjadikan kita putus harapan untuk bisa tersenyum, karena dalam setiap cobaan disana ada senyuman seperti halnya dongeng si Kabayan yang suka tersenyum kalau sedang mendaki gunung terjal dan tinggi karena dia tahu bahwa di hadapannya akan ada jalan yang menurun. Pepatah bilang “dimana ada kesulitan, disana ada jalan”. Dalam Quran Surat al-Insyiroh ayat 5 Alloh berfirman :

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.

Jadi walau saja Alloh SWT. menghadapkan kita terhadap berbagai macam kebutuhan maka bergembiralah karena dibalik kebutuhan kita akan sadar bahwa kita adalah makhluk lemah yang membutuhkan Dzat yang Maha Kaya dan Maha Gagah yaitu Alloh SWT. Sehingga kita dapat memaksimalkan ibadah dan akhirnya kebahagiaan akan kita raih.

Semoga kita sebagai ummat mukmin dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian, Amiin

Aliran Mu’tazilah

Posted: April 21, 2011 in Ilmu Kalam
Tags:

BAGIAN I

PENDAHULUAN

  1. A.      Latar Belakang

Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka. Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan  mulai dengan munculnya aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad. Kemudian muncul lagi aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Adapun aliran yang tidak menerima pendapat-pendapat terhadap aliran Khawarij dan Murji’ah yang di sebut dengan aliran Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara kedua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi). Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini.

Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari Al-quran dan As-Sunnah.

Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

 

BAGIAN II

PEMBAHASAN

 

  1. A.      Sejarah Timbul dan Perkembangan Mu’tazilah

Terhadap golongan Mu’tazilah ini, para ulama berbeda pendapat mengenai waktu timbulnya. Sebagian berpendapat, golongan ini timbul sebagai satu kelompok di kalangan pengikut Ali. Mereka mengasingkan diri dari masalah politik dan beralih ke masalah aqidah ketika Hasan Ibn Ali turun dari jabatan khalifah yang digantikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Menurut Abu al-Hasan al-Thara’ifi dalam Ahl al-Ahwa wa al-Bida’, mereka menanamkan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan Ibn Ali membai’at Muawiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan Ibn Ali, Muawiyah, dan semua orang menetap di rumah-rumah dan mesjid-mesjid serta berkata, “Kami bergelut dengan ilmu dan ibadah”.

Kebanyakan ulama berpendapat, golongan ini timbul sebagai akibat Wasil Ibn ‘Atha mengasingkan diri (i’tazala) dari forum ilmiah Hasan al-Basri. Waktu itu muncul seorang dan bertanya tentang orang yang berdosa besar. Khawarij memandang mereka itu kafir sedangkan Murji’ah memandang mereka mu’min. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil berkata “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya”. Wasil kemudian meninggalkan forum Hasan al-Basri dan membentuk forum sendiri di mesjid yang sama dan menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Wasil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata, i’tazala’anna Wasil (Wasil menjauhkan diri dari kita).

Menurut para penulis kitab-kitab Mu’tazilah, awal munculnya faham itu jauh lebih dahulu dari kisah Wasil keluar dari forum Hasan al-Basri tersebut. Di antara penganut madzhab itu banyak yang berasal dari keluarga nabi (Ahlu al-Bait). Hasan al-Basri termasuk penganut madzhab ini pernah menyatakan pandangan tentang perbuatan manusia sebagaimana pandangan faham Qa-dariah, pandangan itu merupakan pandangan mereka juga. Hasan juga mengemukakan pendapat tentang pelaku dosa besar yang mirip dan tidak bertentangan dengan pendapat mereka. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah munafik, kesamaannya ialah bahwa orang munafik juga kekal dalam neraka dan tidak termasuk ke dalam kelompok orang beriman. Banyak Ahlu al-Bait yang berpola fikir sama dengan Hasan al-Basri seperti Zaid Ibn Ali teman dekat Wasil. Wasil sendiri merupakan salah seorang penyiar faham ini yang menonjol sehingga kebanyakan ulama memandang beliau sebagai tokoh utamanya.

Dalam menelusuri asal-usul nama dan proses timbulnya Mu’tazilah begitu sulit karena belum ada kata sepakat di antara para ahli. Namun, menurut Harun Nasution, nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil Ibn ‘Atha dengan Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah terdapat kata-kata i’tazaala, al-Mu’tazilah. Hubungan antara Mu’tazilah pertama dan Mu’tazilah kedua pun belum ada fakta-fakta yang memberikan kepastian. Adapun pemberi nama Mu’tazilah adalah mereka sendiri minimal mereka setuju dengan kata itu. Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar mengatakan bahwa kata-kata i’tazala yang terdapat dalam al-Quran mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar sehingga kata Mu’tazilah berarti pujian. Al-Qadi pun menerangkan hadits nabi yang mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah Mu’tazilah. Menurut Ibn al-Murtad, kaum Mu’tazilah sendirilah dan bukan orang lain yang memberikan nama itu kepada golongan mereka. Mereka tidak memandang nama Mu’tazilah sebagai nama ejekan.

Aliran ini pada awal perkembangannya tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Selain itu, kaum Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunnah Rosulullah SAW dan para sahabat. Baru pada masa al-Ma’mun (Khalifah Abbasiyah periode 198-218 H/813-833 M), golongn ini memperoleh dukungan luas teruatama di kalangan intelektual. Selanjutnya, kedudukan Mu’tazilah semakin kokoh setelah dijadikan madzhab resmi negara oleh al-Ma’mun (anaknya Harun al-Rasyid), disebabkan sejak kecil ia dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa, Mu’tazilah mengalami masa kejayaan. Namun, disaat puncak kejayaan itu kaum Mu’tazilah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang terkenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (inquistion). Peritiwa itu timbul dikarenakan faham Khalq al-Quran, dimana kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk, dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti al-Quran sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Quran dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah SWT dan ini musyrik hukumnya.

Peristiwa yang menggoncangkan umat Islam itu akhirnya berakhir setelah al-Mutawakkil menjadi khalifah (periode 232-247 H/847-861 M) menggantikan al-Wasiq (periode 228-232 H/842-847 M). Dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan masyarakat semakin tidak bersimpatik sehingga al-Mutawakkil membatalkan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dan menggantikannya dengan aliran Asy’ariyah. Selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul lagi pada masa Dinasti Buwaihi, namun kembali lagi pada Asy’ariah ketika Bani Saljuk mengambil alih kekuasaan, terutama sejak pemerintahan Alp Arselan dengan Nizam al-Mulk sebagai perdana menterinya. Hingga berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Walaupun demikian, di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat personal itu lelah mulai timbul kembali dikalangan umat Islam terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tidak sadar mereka telah mempunyai paham-paham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai paham-paham yang demikian tidaklah membuat mereka keluar dari Islam.[1]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. B.       Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa  kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”.

Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilmu al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil dan Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amar Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti plajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ketempat lain di mesjid, disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’ anna). “Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.

Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temannya’Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar.  Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka beserta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diridari paham umat islam tentang soal orang yang berdosa besar.  Menurut mereka orang serupa ini tidak mukmin dan pula tidak kafir.

Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke mesjid Basrah dan menuju ke majlis ‘Amar ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata “ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.

Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.

Disamping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tidak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn ‘Affan  dan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. Jadi kata I’tazala dan mu’tazilah telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.

C.A. Nallino, seorang Orientalist Itali mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Ahmad Amin. Berdasarkan pada versi Mas’udi tersebut sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung arti “memisahkan diri dari umat Islam lainnya,” sebagai yang terkandung dalam versi yang diberikan al-Syahrastani, al-Baghdadi dan Tasy Kubra Zadah. Tetapi sebaliknya, nama itu diberikan kepada mereka, karena mereka, menurut versi Mas’udi, merupakan golongan yang berdiri netral diantara Khawarij, yang memandang usman , Ali’, Mu’awiah dan orang berdosa besar lainnya kafir, dan Mur’jiah, yang memandang mereka tetap mukmin. Oleh karena itu, Nallino berpendapat bahwa golongan Mu’tazilah kedua mempunyai hubungan yang erat dengan golongan Mu’tazilah pertama. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa golongan mu’tazilah kedua adalah lanjutan dari golongan Mu’tazilah pertama.

Tetapi teori ini dibantah oleh ‘ali Sami al-Nasysyardengan mengemukakan argumen bahwa ada diantara khalifah-khalifah Bani Umayyah yang menganut paham Mu’tazilah. Bani Umayyah termasuk dalam salah satu golongan yang bertentangan dengan kaum Khawarij dan yang dipandang oleh kaum Mu’tazilah sebagi orang yang berdosa besar dan akan kekal dalam  neraka.

Al-Nasysyar selanjutnya berpendapat bahwa nama Mu’tazilah betul timbul dalam lapangan pertentangan-pertentangan politik Islam terutama antara’Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak dipakai untuk satu golongan tertentu. Argumentasi yang diajukan al-Nasysyar ialah bahwa kata-kata  I’tazala danal-mu’tazilah terkadang dipakai untuk orang yang menjauhkan diri dari peperangan-peperangan, orang yang menjauhkan diri dari ‘Ali dan sebagainya. Orang yang demikian pada hakikatnya menjauhkan diri dari masyrakat umum dan memusatkan pemikiran pada ilmu pengetuhan dan ibadat. Di antara orang-orang yang serupa ini terdapat dua orang dari cucu –cucu Nabi yaitu  Abu Hasyim, Abdullah dan al-Hasan Ibn MuhammadIbn Alhanifah. Dan Wasil mempunyai hubungan erat dengan Abu Hasyim. Jadi menurut al-nasysyar,golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu pengetahuan dan ibadat,dan bukan dari golongan Mu’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.

Al Qadi’Abd al-Jabbar, mengatakan bahwa kata-kata i’tazala yang terdapat dalam al-Quran mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian. Selanjutnya ia menerangkan adanya hadits Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan yang paling patuh dan terbaik dari seluruhnya ialah golongan Mu’tazilah.

Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga ahli al-Tauhid wa al-‘Adl,golongan yang mempertahankan Keesaan murni dan keadilan Tuhan. Lawan mereka memakai nama-nama seperti al-Qdariah, karena mereka,menganut paham  free will dan  free act, al-Muattillah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Tuhan; dan wa’idiah karena mereka terdapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan terdapat orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa dari diri mereka.

Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah adalah; Wasil Ibn Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah , Syaikh al-Mu’tazilah wa qadilmuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81H di Madinah dan meninggal tahun 131H.[2]

 

  1. C.      Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya

Aliran Mu’tazilah telah melahirkan pemuka dan tokoh-tokoh penting, Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M), orang pertama yang meletakan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah. Ajaran pokok yang dicetuskannya ada tiga yaitu, faham al-Manzilah bain al-Manzilatain, faham Qodariah yang diambil dari Ma’bad dan Gailan, dan faham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu kemudian menjadi doktrin Mu’tazilah, yakni al-Manzilah bain al-Manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.

Abu Huzail al-Allaf (135-235 H), seorang filosof Islam yang banyak mengetahui falsafah Yunani sehingga memudahkannya menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercocok filsafat. Antara lain, ia membuat uraian mengenai pengertian nafy as-Sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya, Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya, bukan sifat-Nya, demikian seterusnya. Penjelasan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya yang qadim selain Tuhan karena kalau karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu qadim. Dengan demikian, ada banyak yang qadim sehingga akan membawa banyak kemusyrikan. Ajarannya yang lain, Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar dipergunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan pengetahuannya tentang yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan  yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula, manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Ia juga melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-Salah wa al-Aslah.

An-Nazzam (183-231 H), berpendapat tentang keadilan Tuhan. Tuhan itu Maha Adil sehingga tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Ia lebih jauh dari gurunya, al-Allaf yang berpendapat bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya. An-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukan hanya mustahil, tetapi Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Menurutnya, perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang bodoh dan tidak sempurna sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga berpendapat, mukjizat al-Quran terletak  pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika). Selain itu, juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT, yaitu segala sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Oleh karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim.

Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869), pencetus faham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah disebut sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.

Al-Jubba’i (w. 303 H), guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah. Pendapatnya yang mashur yaitu tentang kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai kalam Allah SWT, ia sependapat dengan an-Nazzam. Mengenai Sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui berarti Dia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Tentang kewajiban manusia, ia membaginya kedalam dua kelompok yaitu kewajiban-kewajiban yang diketahui oleh manusia melalui akalnya (wajibah ‘aqliyah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iah). Sementara itu, daya akal menurut al-Jubba’i sangat besar. Dengan akalnya, manusia dapat mengetahui adanya Tuhan serta kewajiban bersyukur kepada-Nya. Akal manusia selanjutnya dapat mengetahui  yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban berbuat yang baik dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi ajaran Mu’tazilah yang penting.

Mu’ammar bin Abbad, pendiri Mu’tazilah aliran Baghdad. Pendapatnya yang penting yaitu tentang kepercayaan pada hukum alam, sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi, sementara al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Contohnya, jika sebuah batu dilempar kedalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H), ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Baginya, anak kecil tidak diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya diakhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H), dianggap pemimpin Mu’tazilah yang ekstrim karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, menuduh kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala akhirat.

Hisyam bin Amr al-Fuwati, berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.

Sumamah bin Asyras (w. 213 H), berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunnya wahyu dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk, wahyu turun untuk memberikan konfirmasi.

Abu al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H), memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka Mu’tazilah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa jika Tuhan dikatakan berkehendak, maka kehendak Tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada zat Tuhan dan bukan pula diwujudkan melalu zat-Nya. Jadi, kehendak Tuhan itu bukan zat-Nya, melainkan diinterpretasikan dengan Tuhan mengetahui dan berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya sesuai dengan Pengetahuan-Nya.[3]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. D.      Lima Ajaran Dasar Mu’tazilah

Setiap orang yang memeluk aliran Mu’tazilah diharukan untuk memegang kepada lim ajaran, bahkan seluruh Fiqrih-fiqrih Mu’tazilah yang sudah pecah kepada 22 golongan (menurut Al-Bagdadi) yang mana tetap berpegang dan bergabung kepada lima pokok ajaran, yaitu :

  1. 1.    Tauhid (Ke-Esaan)

Tauhid disini maksudnya meng-Esa-kan Tuhan dari segala sifat dan af’alnya yang hal itu menjadi pegangan bagi aqidah islam.

Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhidkarena mereka berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prisip ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim dan bisa dihindari juga serangan dari agama dualisme dan Trinitas.

Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah :

  1. Sifat-sifat Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan itu qadim berarti Allah itu berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal adalah Maha Esa.
  2. Mereka “Menafikan” meniadakan sifat-sifat Allah sebab bila Allah bersifat dan sifatnya itu macam-macam pasti Allah itu berbilang.
  3. Allah bersifat ‘alimin, Qadirin, Hayyun, Samiun, Basyirun dan sebagainya adalah dengan zat-Nya demikian, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri.
  4. Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti.
  5. Mereka menolak aliran Mujasimah, Musyabilah, Dualisme dan trinitas.
  6. Tuhan itu Esa bukan benda bukan Arrad dan tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya.
  1. 2.    Al-Adlu (keadilan)

manusia adalah merdeka dalam segala perbuatannya dan bebas bertindak, oleh karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan atas segala perbuatannya, kalau perbuatan itu baik diberi Tuhan kebaikan dan kalau perbuatan itu jelek atau salah jelas akan diberi Tuhan siksaan, inilah yang mereka maksudkan keadilan.

Lebih jauhnya tentang keadilan ini, mereka berpendapat:

–          Tuhan menguasai kebaikan dan tidak menghendaki keburukan.

–          Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (kekuasaan) yang dijadijadikan Tuhan pada diri manusia.

–          Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan.

–          Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan menyuruh kecuali yang disuruh-Nya.

–          Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat tersebut hanya merupakan pinjaman belaka.

–          Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat.

  1. 3.    Wal wal Wa’id (Janji dan Ancaman)

Perinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Disinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya

Ajarannya ialah:

  1. Orang mu’min yang berdosa besar lalu mati sebelum taubat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
  2. Di akhirat tidak aka nada syafa’at sebab Syafa’at berlawanan dengan al-Wa’du wal wa’id (janji dan ancaman).
  3. Tuhan pasti akan membalas kebaikan manusia yang  berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan.
  4. 4.    Al-Manjilah Bainal Manzilataini (Tempat Diantara Dua).

Sebagai diuraikan terdahulu bahwa dimaksud dengan tempat diantara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum mu’tazilah yaitu tempat bagi orang fasik, yaitu orang-orang mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak musyrik maka mereka dinamai fasik dan nanti akan di tempatkan di suatu tempat yang berada diantara surga dan neraka.

Orang-orang fasik ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin pun tidak pula masuk ke surge yang penuh kenikmatan.

  1. 5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh kebaikan dan melarang kejelekan)

Dasar ini pada kenyataannya hanya sekedar berhubungan dengan amalan akhir dan dengan dasar ini pula membuat heboh dunia islam selama 300 tahun, pada abad permulaan islam, sebab menurut mereka: “orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus dibenar kan serta diluruskan”, kewajiban ini harus dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat untuk menegakkan agama serta memberi petunjuk kepada orang yang sesat.

Dalam melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar mereka berpegang kepada Al Hadits yang berbunyi:

من رائ منكم منكرا فليغيره بيده

Artinya:

“Siapa diantaramu yang melihat kemungkinan maka rubahlah dengan tangan mu”.

Oleh karena itulah telah tercatat dalam sejarah bahwa kaum MU’tazilah telah pernah membunuh ulama-ulama islam diantaranya ulama islam yang terkenal Syekh Buwaithi seorang ulama pengganti Imam Syafi’I dalam suatu “peristiwa Qur’an makhluk”.

Disini terdapat keganjilan-keganjilan dari orang Mu’tazilah sebab Amar Ma’ruf atau menyuruh kebaikan itu dimaksudkan hanya Ma’ruf (kebaikan) bagi kaum Mu’tazilah, yaitu hanya pendapat mereka bukan Ma’ruf (kebaikan) yang sesuai dengan Qur’an sebagaimana orang banyak berpegang kepada Qur’an yang tercantum dalam ayat 104 dari surat Ali Imran yaitu:

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô‰tƒ ’n<Î) Ύösƒø:$# tbrããBù’tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9’ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ

Artinya:

“Dan hendaklah ada diantaramu segolongan umat yang menyuruh kebajikan, menyuruh kepada Ma’ruf dan mencegah dari manusia yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS.Ali Imran: 104)

Juga mereka tidak melaksanakan seperti diungkapkan dalam surat Lukman ayat 17 yang berbunyi:

¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4’n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ)

 y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷“tã ͑qãBW{$# ÇÊÐÈ

Artinya:

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS.Lukman: 17)[4]

  1. E.       Masalah Akal dan Wahyu Menurut Aliran Mu’tazilah

Menurut Mu’tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnlya wahyu wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib.

Dalam hubungan ini al-Huzail dengan tegas mengatakan, bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang demikian akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat di ketahui dengan perantaraan akal dan dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, umpamanya, bersikap lurus dan adil, dan wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan berbuat zalim.

Golongan al-Murdar bahkan berpendapat lebih jauh. Menurut paham mereka, dalam kewajiban mengetahui Tuhan, termasuk kewajiban mengetahui hokum-hukum dan sifat-sifat Tuhan, sungguh pun wahyu belum ada, dan orang yang tidak mengetahui hal itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, maka ia akan mendapat hukuman kekal dalam neraka.

Menurut al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya, kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat dapat diketahui dengan akal. Menurut mereka, sudah barang tentu sebelum mengetahui bahwa sesuatu hal adalah wajib, orang harus terlebih dahulu mengetahui hakikat itu sendiri. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, orang terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tak dapat menentukan sikap terhadapnya.

Jika Mu’tazilah berpendapat, bahwa keempat masalah pokok dapat diketahui oleh akal, apa fungsi wahyu dalam keempat masalah tersebut. Untuk mengetahui hal ini harus dilihat dari keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan para pemuka Mu’tazilah.

Menurut Ibnu abi Hasyim, kalau untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu tidak mempunyai fungsi apa-apa, tetapi untuk mengetahui cara memuja dan menyembah (beribadah) kepada Tuhan, wahyu diperlukan. Menurutnya pula, akal belum dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menerangkan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan.

Mengenai soal baik dan buruk, Abdul Jabbar menjelaskan, bahwa akal memang tak dapat mengetahui semua yang baik. Menurutnya pula, akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban hanya dalam garis besarnya saja, akal tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun mengenai hidup di dunia. Keterangan yang sama diberikan oleh Ibn Hasyim.

Ia kemudian mengatakan : Rasul-rasul datang membawa perincian tentang apa yang telah diketahui oleh akal dalam garis besarnya. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa akal mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kemelaratan, tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tak dapat diketahui oleh akal apakah membawa kebaikan atau membawa kemadharatan. Dalam hal demikian, wahyulah yang menentukan baik buruknya perbuatan-perbuatan.

Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan tidak semua yang buruk dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui hal itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Oleh karena itu Abdul Jabbar membagi perbuatan-perbuatan kepada :

–          Manakir  ‘aqliyah (perbuatan-perbuatan yang dicela oleh akal), seperti bersikap tidak adil dan berdusta.

–          Manakir syar’iyah (perbuatan-perbuatan yang dicela oleh syariat atau wahyu), seperti mencuri, berzina, dan meminum minuman keras.

Kemudian ia juga membagi kewajiban-kewajiban :

–          Al-Wajibat al-‘Aqliyah (kewajiban-kewajiban yang diketahui oleh akal), seperti kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban membayar utang.

–          Al-Wajibat asy-Syar’iyah (kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui syariat atau wahyu), seperti mengucapkan dua kalimat Syahadat dan Shalat.

Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Sebagaimana di katakana Abdul Jabbar, akal tidak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain, demikian pula akal tidak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar daripada hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu.

Al-Jubba’I juga berpendapat, bahwa wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diterima oleh manusia di Akhirat.
Fungsi selanjutnya wahyu menurut Al-Syahrastani ialah “mengingatkan

Manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Jadi akal telah tahu tentang Tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan, kemudian wahyu data ng untuk mengingatkan manusia kepada kewajiban itu. aKal dapat mengetahui Tuhan, tetapi melalui jalan yang panjang dan wahyu memperpendek jalan yang panjang.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan,bahwa bagi kaum mu’tazilah mempunyai  fungsi konfirmasi dan informasi, artinya memperkuat apa-apa yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh akal,dan dengan demikian wahyu itu menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.[5]

  1. F.       Masalah Konsep Iman menurut Mu’tazilah

Jika aliran asy’ariyah berkeyakinan bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan dan manusia mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu, maka aliran Mu’tazilah berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa akal manusia bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Pendapat Mu’tazilah yang demikian ini mempengaruhi pula terhadap pendapatnya mengenai konsep Iman. Iman menurut mereka, tidak bisa mempunyai arti pasif, Iman tidak bisa mempunyai Tasdiq, tetapi Iman mesti mempunyai arti aktif, sebab manusia melalui akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dengan demikian menurut aliran Mu’tazilah, Iman bukanlah Tasdiq (membenarkan). Dan Iman dalam arti mengetahui pun berjumlah cukup.

Menurut Abdul Jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepada-Nya, bukanlah orang Mu’min. jadi, Iman menurut pendapat mereka bukanlah Tasdiq, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya Iman menurut mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. Menurut Abu Huzail, yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukan hanya yang wajib saja, tetapi juga yang Sunnah. Sedangkan menurut al-Jubba’i, yang dimaksud dengan itu hanyalah perintah-perintah menjauhi dosa-dosa besar.

Sungguhpun ada perbedaan pendapat dalam hal ini, namun aliran mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdik,tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.

Selanjutnya,iman menurut mereka,bukan hanya dengan pengakuan dan ucapan lisan,tetapi juga direalisasikan oleh perbuatan-perbuatan (amal).menurut mereka,orang yang berbuat dosa besar tidaklah beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga.

Tempat satu-satunya adalah neraka. Tetapi tidak adil kalau  ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat dengan orang kafir. Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka,tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan dibandingkan dengan orang kafir.[6]

  1. G.      Masalah Kebebasan dan Keterikatan Manusia Menurut Mu’tazilah

Dalam sistem teologi Mu’tazilah, manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas. Hal ini menunjukkan bahwa Mu’tazilah menganut paham Qadariyah.

Al-Jubba’i seorang pemuka Mu’tazilah menerangkan bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik atau buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya (Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdul Jabbar, pemuka golongan Mu’tazilah. Ia mengatakan bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu.

Dari penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa Mu’tazilah memandang Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Tegasnya, golongan Mu’tazilah berpendapat tentang kemauan dan daya hubungannya dengan perbuatan manusia dinyatakan bahwa kemauan dan daya untuk menciptakan perbuatan manusia adalah kemauan-kemauan dan daya manusia sendiri dan tidak turut di dalamnya kemauan dan daya Tuhan.

Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut dipertahankan oleh Abdul Jabbar dengan mengemukakan alasan-alasan rasioanal dan ayat-ayat Al-Quran. Dikemukakannya, manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterima dari manusia lainnya atau melahirkan rasa tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik dari lainnya, maka terima kasih dan rasa tidak senang itu ditujukan kepada manusia.  Kalau sekiranya perbuatan baik dan buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih itu akan ditujukan kepada Tuhan bukan kepada manusia.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan berbuat, tidak terikat  oleh perbuatan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan pendapat golongan Asy’ariah. Perlu diketahui bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak mutlak, terbatas oleh yang tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri, seperti hidup di muka yang kemudian mati.[7]

  1. H.      Masalah Keadilan Tuhan Menurut Mu’tazilah

Tidak seperti halnya Asy’ariah, Mu’tazilah meninjau tentang keadilan Tuhan dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Hal ini ternyata seluruh makhluk lain yang diciptakan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.

Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu tentu mempunyai tujuan, baik bertujuan untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-Nya, tetapi Tuhan berbuat bukan untuk kepentingan Diri-Nya, yakni untuk kepentingan maujud lain, selain Tuhan. Berdasarkan pandangan ini, Mu’tazilah menyatakan bahwa wujud alam ini diciptakan untuk manusia sebagai makhluk yang tertinggi. Oleh karena itu golongan Mu’tazilah mempunyai kecenderungan melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.

Al-Jabbar seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan erat hubungannya dengan hak. Keadilan diartikan memberikan hak seseorang. Kata-kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya baik, ia tidak dapat berbuat yang buruk dan ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat meletakan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Kemudian keadilan Tuhan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.[8]

  1. I.         Perbuatan dan Sifat Tuhan
    1. 1.    Kewajiban-kewajiban Tuhan Terhadap Manusia

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu antara lain: Tuhan wajib berbuat adil terhadap makhluk-Nya. Tuhan wajib memberi pahala kepada orang yang berbuat taat, Tuhan wajib mengazab orang yang berbuat dosa apabila tidak mau bertobat. Tuhan wajib menepati janji, Tuhan wajib memberi rizki kepada makhluk-Nya. Tuhan wajib tidak memberi beban kepada manusia di luar batas kesanggupannya. Tuhan wajib memberi hak-hak manusia apabila ia telah melaksanakan kewajibannya, bahkan Tuhan wajib mengutus Rasul-rasul-Nya, untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Menurut Mu’tazilah kewajiban-kewajiban tersebut mesti dilaksanakan oleh Tuhan, kalau tidak maka Tuhan akan dianggap zalim, aniaya, pemaksa, pendusta, dan sebagainya, hal itu mustahil bagi Tuhan.

Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban itu timbul sebagai akibat dari konsep kaum Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan dan adanya batasan-batasan kehendak mutlak Tuhan. Bahwa kekuasan dan kehendak Tuhan itu dibatasi oleh sifat keadilan Tuhan sendiri. Karena itu Tuhan tidak bisa lagi berbuat menurut kehendak-Nya sendiri menyalahi prinsip keadilan yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Tuhan sudah terikat pada janji-janji dan nilai-nilai keadilan, kalau Tuhan melanggarnya, maka Tuhan dianggap tidak bersifat adil.[9]

  1. 2.    Berbuat Baik dan Terbaik

Dalam kalangan Mu’tazilah dikenal suatu paham ilmu kalam yang mereka sebut dengan al-Shalah wa al-Ashalah atau berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang sangat penting bagi kaum Mu’tazilah.

Menurut paham Mu’tazilah, demi untuk keadilan, maka Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik untuk kepentingan manusia. Keadilan erat sekali hubungannya dengan hak, sebab adil itu berarti memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Di samping itu menurut kaum Mu’tazilah, keadilan itu harus dapat diterima secara rasional. Tuhan memberikan pahala kepada seseorang sesuai dengan kebaikan yang dilakukannya, dan menghukum seseorang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, itu termasuk keadilan yang sesuai dengan pemikiran

yang rasional. Karena itu Abdul Jabbar mengatakan: “Kata-kata Tuhan tidak adil, mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah buruk, dan Tuhan tidak mungkin mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia”.

  1. 3.    Beban di Luar Kemampuan Manusia

Dalam kalangan ahli-ahli teologi Islam dipermasalahkan tentang pemberian beban diluar kemampuan manusia, atau yang dikenal dengan paham taklifu ma la yutaq.

Bagi kaum Mu’tazilah, paham taqlifu ma la yutaq atau paham bahwa Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul oleh mereka, tidak dapat diterima, karena paham tersebut bertentangan dengan paham yang mereka anut, yaitu paham tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan menjadi tidak adil apabila memberi beban yang terlalu berat, yang tidak mungkin manusia dapat memikulnya. Semua perbuatan Tuhan adalah bersifat adil, tidak ada suatu perbuatan pun yang dilakukan oleh Tuhan yang bersifat salah, aniaya, zalim atau tidak adil. Padahal Tuhan itu hanya menghendaki kebaikan dan keadilan terhadap hamba-Nya. Karena itu kalau Tuhan memberikan beban yang terlalu berat, yang tidak mungkin manusia mengerjakannya, dan karena itu Tuhan menghukumnya, maka itu berarti Tuhan tidak adil. Hal ini mustahil bagi Tuhan, karena itu paham taklifu ma la yutaq ini tidak dapat di terima oleh kaum Mu’tazilah. [10]

  1. 4.    Pengiriman Rasul-rasul

Bagi kaum Mu’tazilah, yang mempunyai kepercayaan, bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan akal manusia dapat mengetahui tentang adanya Tuhan, dan dengan akal manusia dapat mengetahui tentang yang baik dan yang buruk, karena itu manusia berkewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Menurut kaum Mu’tazilah, pengiriman Rasul-rasul itu tidak begitu penting, sebab wahyu yang dibawa oleh para Rasul itu hanya berfungsi untuk memperkuat atau menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia oleh akalnya. Tanpa Rasul manusia dapat mengetahui tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan sifat-sifat Tuhan. Orang yang tidak mengetahui hal-hal seperti itu berarti tidak berterima kasih kepada Tuhan, dan akan mendapat hukuman Tuhan.

  1. 5.    Janji dan Ancaman

Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id) adalah termasuk salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Janji dan ancaman tersebut sangat erat hubungannya dengan dasar kepercayaan mereka yang kedua, yaitu keadilan. Menurut mereka, Tuhan akan bersifat tidak adil apabila tidak menepati janji-Nya untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Demikian pula Tuhan akan bersifat tidak adil apabila tidak melaksanakan ancaman-Nya untuk memberikan hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Bahkan menurut Abdul Jabbar, apabila Tuhan tidak menepati janji-Nya dan tidak melaksanakan ancaman-Nya, maka  hal itu akan membuat Tuhan mempunyai sifat berdusta. Hal ini mustahil bagi Tuhan, disamping itu tidak menepati janji dan tidak melaksanakan ancaman itu bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman itu wajib bagi Tuhan.

  1. 6.    Sifat-sifat Tuhan pada Umumnya

Di kalangan ulama mutakallimin perbedaan yang sangat mendasar, terutama antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariah, tentang persoalan: Apakah Tuhan itu mempunyai sifat atau tidak? Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Karena itu merek dikenal mempunyai paham nafyu al-shifat. Menurut Abu al-Huzail, tidak mungkin kepada Tuhan diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan sifat itu kemudian melekat pada zat Tuhan. Sebab ini berarti ada dua yang qadim, yaitu zat Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Karena itu orang yang mengakui adanya sifat-sifat Tuhan , maka orang tersebut menjadi musyrik karena meyakini bahwa yang kekal itu dua atau lebih (ta’addud al-qudama’). Kalau di dalam al-Quran Tuhan sendiri menyebutkan sifat-Nya, misalnya Tuhan Maha Mengetahui, maka Abu al-Huzail menjelaskan bahwa memang betul Tuhan mengetahui, tetapi mengetahui itu bukanlah sifat, mengetahui adalah zat Tuhan. Jadi Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya.

  1. 7.    Anthropomorphisme

Dalam kalangan ahli-ahli Teologi Islam terdapat perbedaan pendapat tentang Anthropomorphisme atau yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tajassum atau al-tasybih, yaitu apakah sifat-sifat manusia dapat dipergunakan untuk Tuhan, sebab Tuhan itu bersifat immateri, sedangkan manusia bersifat materi.

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat-sifat manusia itu tidak tidak dapat dipergunakan untuk Tuhan. Tuhan tidak mempunyai tubuh yang bersifat materi, karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti manusia. Oleh karena itu kalau dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti al-yad (tangan), al-wajh (muka), al-ain (mata) maka sifat-sifat tersebut harus diberikan interprestasi yang lain. misalnya al-yad diberi interprestasi dengan kekuasaan. Al-wajh di beri interprestasi dengan esensi. Al-‘ain di beri interprestasi dengan pengetahuan.

 

  1. 8.    Melihat Tuhan

Dalam kalangan ahli-ahli Teologi Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai: Apakah manusia dapat melihat Tuhan nanti di akhirat? Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak dapat dilihat, sebab tuhan itu bersifat immateri, karena itu tidak mengambil tempat. Hanya yang bersifat materi sajalah yang dapat dilihat. Kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, maka dalam alam ini Tuhan tentu dapat dilihat-Nya. Padahal tak seorangpun mengaku melihat Tuhan dalam alam Fana ini.

Mu’tazilah menyandarkan pendapat mereka kepada surat al-an’am ayat 103 :

žw çmà2͑ô‰è? ㍻|Áö/F{$# uqèdur à8͑ô‰ãƒ t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#‹Ïܯ=9$# 玍Î6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ

“penglihatan tak dapat menangkap-Nya, tetapi dia dapat menangkap penglihatan. Dia Mahahalus, tetapi Mahatahu”.[11]

BAGIAN III

PENUTUP

 

  1. A.      Kesimpulan
    1. Aliran Mu’tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad pertama Hijriah dikota Basrah (Irak).
    2. Kata Mu’tazilah muncul dari peristiwa Wasil dengan Hasan Basri mengenai kedudukan orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil menjauhkan diri dari tempat Hasan Basri. Menurut Pendapat Al-Mas’udi bahwa ke Mu’tazilahan itu mula-mula muncul merupakan sifat dari orang yang berbuat dosa besar ( jauh dari golongan mukmin dan kafir),yang kemudian sifat atau nama itu diberikan kepada golongan yang berpendapat demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin,sebutan mu’tazilah muncul di sekitar pertikaian antara Ali bin Abi thalib dengan mu’awiyah. Golongan yang tidak ikut bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng dan harus dijauhi (I’tazalna).
    3. Tokoh-tokoh aliran mu’tazilah antara lain : Wasil bin Atha,Abu Huzail bin Huzail Al-aLaf , Bisyir bin Al-Mu’tamar , Ibrahim bin sayyar bin Hani An-Nazzham, Abu Ali Muhammad bin Ali Jubbai’, Abu Husain Al-Khayyat, Al-Qadhi Abd al-Jabbar, dan Jarullah Abd Qasim Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyari.
    4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu’tazilah adalah: At-Tauhid (keMahaesaan Tuhan),Al-Adl (Keadilan), Al-wa’d Wal Wa’id (janji dan ancaman) al-Manzilah baim al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi), dan amar ma’ruf nahyi munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat jahat).
    5. Aliran Mu’tazilah dalam pendapatnya berpegang kuat pada akal pikiran (rasio). Oleh sebab mereka hanya mau menerima dalil naqli yang sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran.
    6. Aliran ini mencapai puncak kejayaannya pada masa khalifah al-Ma’mun dan mulai menurun pada masa khalifah al-Mutawakkil.
    7. Menurut aliran Mu’tazilah, pengetahuan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan dapat diketahui dengan perantaraan akal.
    8. Menurut paham Mu’tazilah, Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia seperti wajib menepati janji, wajib memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, wajib menghukum orang yang berbuat dosa, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban tersebut timbul karena adanya pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, seperti adanya sifat keadilan Tuhan yang menyebabkan Tuhan berkewajiban menghukum orang yang berbuat jahat.
    9. Kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima paham taklifu ma la yutaq yaitu paham yang dianut oleh kaum Asy’ariah, bahwa Tuhan itu dapat saja memberikan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, karena paham tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan Tuhan.
    10. Menurut Abdul Jabbar dari golongan Mu’tazilah, apabila Tuhan tidak mau menepati janji-Nya dan tidak mau melaksanakan ancaman-Nya, maka hal itu Tuhan bersifat dusta, hal itu mustahil bagi Tuhan.
    11. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, karena orang yang mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, berarti mengakui bahwa yang kekal atau yang qadim itu banyak. Pengakuan seperti itu membawa kepada kemusyrikan.
    12. Antropomorphisme adalah paham teologi, bahwa Tuhan mempunyai anggota tubuh (berjisim) seperti halnya manusia, Tuhan mempunyai tangan, mata, muka, dan sebagainya.
    13. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat, sifat Tuhan bersifat immateri, karena ia tidak mengambil tempat. Hanya yang bersifat materi sajalah yang dapat dilihat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Hamdani dkk. 2010. Ilmu Kalam. Bandung: Sega Arsy.

Nasutioan, Harun. 2002. Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Zainuddin. 1996. Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Basri, Hasan. 2009. Ilmu Kalam “Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran”. Bandung: Azkia Pustaka Utama


[1] Hamdani, Maslani, dan Ratu Suntiah, Ilmu Kalam, (Bandung: Sega Arsy, 2010), hlm. 62-66.

[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 2002), hlm. 41-44.

[3] Hamdani, Maslani, dan Ratu Suntiah, Ilmu Kalam, (Bandung: Sega Arsy, 2010), hlm. 71-74.

[4] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1996), hlm. 50-57.

[5] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 75-79.

[6] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 89-90.

[7] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 96-98.

[8] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 104-105.

[9] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 109-110.

[10]Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 112-113.

[11] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 114-121.

Landasan Pendidikan

Posted: April 21, 2011 in Sosial
Tags:

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1    Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang memiliki berbagai potensi, minimal potensi yang dia miliki adalah pendengaran, penglihatan, dan hati. Guna memaksimalkan semua potensi tersebut, maka harus ada sesuatu yang mengarahkan dan membimbingnya, supaya berjalan dan terarah sesuai dengan yang diharapkan. Karena itu, manusia harus dibekali dengan pendidikan yang cukup sejak dini. Di lain pihak manusia juga memiliki kemampuan dan diberikan akal pikiran yang berbeda dengan makhluk yang lain.

Sedangkan pendidikan itu sendiri merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan manusia agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya. Artinya bahwa proses pendidikan itu dilakukan secara sengaja dan penduh dengan kesadaran dan ditambah lagi dengan terencana, artinya bahwa proses pendidikan dilaksanakan dengan penuh perencanaan (planning) yang matang. Hal tersebut dilakukan, karena yang menjadi subjek dalam pendidikan adalah manusia. Manusia yang memiliki berbagai potensi, karakter, dan kepribadian yang sangat berbeda-beda dan kompleks.

Manusia adalah hasil dari proses pendidikan, oleh karena itu tugas pokok dan utama dari pendidikan adalah manusiakan manusia (humanizing of human being). Dari sini juga, dapat diketahui bahwa pendidikan pada manusia merupakan suatu keniscayaan. Dengan pendidikan manusia akan memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan merupakan salah satu perlengkapan dasar manusia dalam menempuh kehidupan ini.

Manusia dalam proses pendidikan berkedudukan sebagai objek dan subjek pendidikan. Manusia dewasa yang berkembang adalah subjek pendidikan, artinya seseorang yang sangat bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara moral mereka bertanggung jawab terhadap perkembangan karakteristik dan kepribadian mereka dan generasi penerusnya. Sedangkan manusia yang berperan sebagai objek pendidikan adalah manusia yang belum dewasa dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan integritas. Artinya mereka adalah sasaran atau bahan untuk dibina.

Pendidikan dapat dipahami dan didekati dari berbagai dimensi. Pendidikan itu merupakan proses yang tidak akan pernah selesai (never ending process). Dimana pun dan kapan pun proses pendidikan, senantiasa pendidikan itu terjadi. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan, sebab kehidupan itulah pendidikan yang sebenarnya.

1.2    Deskripsi Singkat

Landasan pendidikan merupakan fondasi untuk memperkuat dan memperkokoh dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia dalam rangka untuk membangun dan menciptakan pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Oleh karena itu, pengetahuan landasan pendidikan merupakan sarana untuk memberikan dasar-dasar pemahaman tentang pendidikan secara komprehensif integral.

Khususnya bagi mahasiswa merupakan pemahaman tentang konsep dasar pendidikan dan ruang lingkupnya merupakan suatu keniscayaan dan yang bersifat mendasar untuk memberikan bekal ketika di lapangan.

Landasan pendidikan ini dapat memberikan motivasi dan basic ability bagi mahasiswa mengenai arti dan posisi pendidikan. Juga menawarkan konsepsi landasan-landasan pendidikan yang mempunyai pengaruh besar bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Sehingga mahasiswa memiliki kemampuan pengetahuan tentang pendidikan.

Landasan pendidikan ini berisi pemikiran dari berbagai tokoh, misalnya tokoh psikologi, filsafat. Di dalam buku ini membahasa landasan filosofis pendidikan, landasan hukum pendidikan, landasan sosial budaya pendidikan, landasan psikologis pendidikan, landasan religius pendidikan, landasan ekonomi pendidikan, landasan manajemen pendidikan, inovasi pendidikan, profesionalisasi guru, dan demokrasi pendidikan. Kemudian membahas Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MPMBS).

Pemikiran-pemikiran ini memberikan kontribusi yang positif bagi pengembangan pendidikan. Jadi, perkembangan pendidikan ada hubungannya dengan perkembangan keilmuan lainnya.

 


BAB II

TEORI-TEORI CONTENT

 

2.1    Pengertian Landasan Pendidikan

Landasan pendidikan terdiri dari dua suku kata, yaitu kata landasan dan pendidikan. Untuk lebih jelasnya, maka dibawah ini penulis akan mencoba untuk memaparkannya.

2.1.1   Pengertian Landasan

Landasan adalah dasar tempat berpijak atau tempat di mulainya suatu perbuatan. Dalam bahasa Inggris, landasan disebut dengan istilah foundation, yang dalam bahasan Indonesia menjadi fondasi. Dalam membuat suatu bangunan, fondasi merupakan bagian yang sangat penting agar bangunan itu bisa berdiri tegak dan kokoh serta kuat. Tiang, genting, kaca, dan yang lain sebagainya, dalam suatu bangunan, tidak akan bisa berdiri dan menempel tanpa ada fondasi tersebut.

Jadi, dilihat dari pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan adalah fondasi atau dasar tempat berpijaknya sesuatu.

2.1.2   Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata didik, kata ini mendapatkan awa me, sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya pengertian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Di bawah ini saya sampaikan beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli, di antaranya :

Pertama, menurut Ahmad D. Marimba (1989: 19), pendidikan adalah bimbingan/pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Kedua, menurut A. Tafsir (2004: 27), menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.

Ketiga, menurut John Dewey (1959), pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan di lembagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial.

Keempat, menurut M.J. Langeveld (1957), pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan dalam suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.

Kelima, menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 bab 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

2.2    Landasan Filosofis Pendidikan

Dalam kaitannya dengan landasan filosofis pendidikan, merupakan titik permulaan dalam proses pendidikan dan menjadi titik tolak akan arah dan tujuan dalam pendidikan, terutama ketika menentukan aspek tujuan-tujuan dalam pendidikan.

Dalam landasan pendidikan, filsafat memberikan konsep dasar yang dibutuhkan sebagai prakarsa, baik bagi masyarakat maupun pemerintah dalam membentuk formulasi dan orientasi pendidikan. Formulasi yang mengandung nilai-nilai pendidikan selanjutnya diaplikasikan dalam suatu realita, agar proses pendidikan terealisir. Salah satu aspeknya dengan pengembangan afeksi, yang menekankan pada perilaku peserta didik sehari-hari.

2.2.1   Pengertian Filsafat Pendidikan

Kata-kata filsafat diucapkan falsafah dalam bahasa Arab dan dalam bahasa Yunani philoshopia, yang berarti cinta kepada pengetahuan, terdiri dari dua kata, yaitu philos yang berarti cinta (loving) dan sophia yang berarti pengetahuan (wisdom). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosophos atau failasuf dalam bahasa Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.

Pengertian filsafat yang sering diutarakan, yaitu berpikir secara sistematis, radikal, dan universal, untuk mengetahui tentang hakikat segala sesuatu. Jadi, filsafat itu merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya yang sistematis dan berlaku kebenarannya secara universal.

Jadi, yang dimaksud filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar-akarnya, sistematis, dan universal mengenai pendidikan.

2.2.2   Fungsi Filsafat

Fungsi filsafat secara umum, yaitu : 1) Sebagai sarana pengujian penalaran secara ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiahnya; 2) Sebagai suatu usaha untuk merefleksi, menguji, dan mengkritik asumsi dan metode-metode keilmuawan.

Adapun fungsi filsafat menurut Noeng Muhadjir adalah memberikan landasan filosofis untuk memahami berbagai konsep dan teori berbagai disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah.

2.2.3   Objek Filsafat

Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Adapun objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada atau  yang nampak dan yang mungkin ada atau yang ada kemungkinan nampaknya.

Objek filsafat ada dua, yaitu objek materi dan objek forma. Mengenai objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris, filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak. Sedangkan objek forma filsafat adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).

2.2.4   Hubungan Filsafat dengan Pendidikan

Filsafat dengan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, filsafat dan pendidikan saling menunjang satu sama lain diantaranya dijelaskan sebagai berkut.

Adapun hubungan antara filsafat dengan pendidikan, bisa terlihat dari beberapa indikator di bawah ini :

Pertama, filsafat dijadikan oleh para pakar pendidikan sebagai bahan atau media (instrument) analisis. Arti filsafat merupakan salah satu cara pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyusun teori-teori pendidikan. Di samping menggunakan metode-metode ilmiah lainnya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan bentuk serta corak terhadap teori-teori pendidikan yang dikembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh seorang filosof, pasti berdasar dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan aliran filsafat yang dianutnya.

Kedua, filsafat juga berfungsi memberikan arah dan tujuan agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang didasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan yang realistis (nyata).

Ketiga, mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk (guide) dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu atau paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah merupakan data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisis filsafat berusaha untuk menganalisis dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut, dan selanjutnya menyimpulkan serta menyusun teori-teori pendidikan yang realistis, yang selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan.

2.2.5   Urgensi Filsafat Pendidikan sebagai Landasan Pendidikan

Mempelajari filsafat secara secara teoritis merupakan suatu usaha dalam rangka menambah ilmu pengetahuan bagi para pelajar. Hal tersebut dilakukan dalam upaya untuk mendorong manusia agar mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat, cepat, dan bijaksana. Dalam hal ini, filsafat berfungsi sebagai sumber, pemeberi asas, metode, petunjuk, pemersatu perangkat, dan alat penafsir bagi ilmu pengetahuan yang lain.

Mempelajari filsafat secara praktis merupakan pendorong bagi seseorang untuk:

  1. a.         Berfikir Logis

Yaitu berpikir secara teratur sistematis dan runtut, sehingga manusia dalam menentukan tentang benar tidaknya sesuatu. Karena dalam menentukan tentang kebenaran tersebut manusia mendasarkan dirinya pada hukum logika, hukum logikalah yang menentukan logis tidaknya sesuatu.

  1. b.         Pengembangan Hidup Kemanusiaan

Yaitu manusia akan selalu menjaga keharmonisan dalam berhubungan dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia atau lingkungannya, dan dengan penciptanya. Dengan demikian, manusia akan menumbuhkan tindak bijak dan selalu mematuhi norma.

2.2.6   Filsafat sebagai Landasan Pendidikan

Filsafat memiliki nilai signifikan dalam proses pendidikan (ilmu pengetahuan), dalam mengkoordinasikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pendidikan. Oleh karena itu, filsafat merupakan salah satu dari beberapa yang menjadi landasan pendidikan. Filsafat merupakan suatu acuan yang dijadikan bahan referensi dalam menentukan pendidikan, diperlukan adanya sistem pendidikan dalam membina filsafat pendidikan yang menyeluruh, realistik, dan fleksibel dalam mengambil landasan-landasan dan prinsip-prinsipnya dari prinsip-prinsip dan ajaran yang mulia, yang berkaitan dengan watak alam jagat, manusia, masyarakat, dan kehidupan dan juga hubungan elemen-elemen ini semua satu sama lain disatu segi dan hubungannya dengan penciptanya di segi yang lain.

Selain itu juga, filsafat memiliki nilai historis dalam mentransformasikan pendidikan, sehingga filsafat sering disebut ibu atau ratu rahim, sebab dalam dirinya telah lahir berbagai ilmu. Puncaknya pada abad ke-19 berbagai ilmu masih dipandang sebagai cabang filsafat di antaranya fisika dan kimia masih di bawah naungan filsafat alam, psikologi masih di bawah filsafat mental, serta politik, ekonomi, dan sosiologi berada di bawah payung filsafat moral. Lambat laun ilmu-ilmu itu tumbuh dan perkembang menjadi mandiri dalam penemuan dan penemuan fakta empiris. Setelah tumbuhnya ilmu-ilmu baru, karena di temukannya berbagi penemuan yang sesuai dengan fakta empiris, ada beberapa yang masih ada dalam naungan filsafat. Yang berhubungan dengan masalah pendidikan ialah etika, yaitu teori tentang nilai epistomologi, yaitu teori tentang pengetahuan.

Selain memililiki nilai histosris, filsafat juga berada sebagai satuan sosial. Gagasan dasarnya terletak pada konsep tentang kebenaran ilmu, serta gagasan tentang filsafat manusia, alam dan pendidikan. Pendidikan harus percaya bahwa pencapaian keutamaan hidup itu memerlukan daya kreatif dengan kekuatan akal pikiran dan kesedihan berkorban. Kesempurnaan akal pikiran diperoleh seseorang jika bisa membedakan dan membandingkan kebenaran dan kesalahan. Pendidikan yang berguna bagi penyempurnaan akal pikiran jauh lebih panjang di bandingkan memenuhi kebutuhan makan.

2.2.7   Landasan Filosopis Pendidikan

Landasan filosofis pendidikan adalah suatu asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Adapun landasan filosofis pendidikan sebagai berikut :

  1. 1.    Landasan Idealisme

Para filosof ini mengklaim bahwa realitas pada hakikatnya bersifat spiritual. Karena manusia itu adalah makhluk yang berpikir, yang memiliki tujuan hidup, dan yang hidup dalam aturan moral yang jelas. Menurut epistemologis, pengatuhan itu diperoleh dengan cara mengingat kembali melalui intuisi, sedangkan aksiologi bahwa manusia itu diperintah melalui nilai moral imperatif yang bersumber dari realitas yang absolut.

Implikasi pendidikan dalam filsafat idealisme, yaitu : tujuan pendidikan itu merupakan bentuk karakter dalam pengembangan bakat dan kebijakan sosial. Kurikulum pendidikan harus berisikan tentang pendidikan liberal dan vokasional (praktis). Pendidikan liberal adalah proses pendidikan dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan rasional dan moral, sedangkan pendidikan vokasional adalah proses pengembangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Adapun metode yang sering digunakannya adalah metode dialektika, yang mendorong kepada para peserta didik untuk memperluas cakrawala, berpikir reflektif, keterampilan-keterampilan berpikir logis, dan lain sebagainya. Sedangkan peran dan tanggung jawab pendidik ialah menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dalam mengembangkan kepribadian dan bakat bagi peserta didik, sehingga menjadi teladan, baik dan moral maupun intelektual.

  1. 2.    Landasan Realisme

Para filosof realisme, memandang bahwa dunia ini adalah materi yang hadir dengan sendirinya, yang tertata dalam hubungan-hubungan di luar campur tangan manusia. Dan mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman dan penggunaan akalnya, sedangkan tingkah laku manusianya diatur oleh hukum alam dan pada taraf yang rendah diatur oleh kebijaksanaan yang teruji.

Adapun implikasi terhadap pendidikan, bertujuan untuk penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab sosial, oleh karenanya, berikan kepada peserta didik pengetahuan yang esensial. Kurikulumnya harus bersifat komprehensif, yang meliputi : sains/IPA dan matematika, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial, dan nilai-nilai. Metodenya harus bersifat logis dan psikologis. Metode pembiasaan merupakan metode yang utama dan sangat penting. Peranan pendidiknya adalah pengelola kegiatan belajar mengajar. Artinya bahwa pendidik harus bisa menguasai pengetahuan yang mungkin berubah, menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar dengan kewenangan menuntut prestasi, dan lain sebagainya. Sedangkan peserta didiknya berperan untuk menguasai pengetahuan, taat pada peraturan, dan berdisiplin.

  1. 3.    Landasan Pragmatisme

Pada dasarnya, pragmatisme merupakan suatu sikap hidup, suatu metode dan suatu filsafat yang digunakan dalam mempertimbangkan nilai sesuatu ide dan kebenaran sesuatu keyakinan secara praktis. Esensi diri pragmatisme ini terletak pada metodenya yang sangat empiris. Ia sangat menekankan pada metode dan sikap lebih dari suatu doktrin filsafat yang sistematis. Dia menggunakan metode ilmu pengetahuan modern sebagai dasar dari suatu filsafat.

2.3    Landasan Hukum Pendidikan

2.3.1   Pengertian Landasan Hukum Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapatkan awalan me, sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan. Selanjutnya pengertian pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Landasan hukum pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku, yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan, terutama pendidikan nasional.

Jadi, landasan hukum pendidikan adalah dasar atau fondasi perundang-undangan yang menjadi pijakan dan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan di suatu negara. Dalam hal ini adalah aturan yang menjadi dasar hukumnya pendidikan Indonesia, yaitu: UUD 1945, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan lain sebagainya.

2.3.2   Masalah Penerapan Landasan Hukum Pendidikan di Indonesia

Seperti yang tercantum pada pasal 6 ayat 1 bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidika dasar. Yang menjadi masalah, mengapa hukum tersebut belum juga teratasi? Di sini bukan hanya pemerintah yang berperan, tetapi semua pihak seharusnya berusaha mensukseskan program wajib belajar ini.

Sebab kalau masyarakat berdiam diri, apalagi menentang program wajib belajar ini, berarti secara langsung mereka sudang meniadakan atau melantarkan peluang untuk mendapatkan kesempatan belajar tersebut. Bisa saja sikap dan tindaka itu dikatakan melalaikan huku atau menentang hukum maupun dari kerugian yang akan diterima oleh putra-putra mereka akibat tidak dapat kesempatan mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.

2.3.3   Cara Menangani Masalah Hukum Pendidikan di Indonesia

Para pendidik dan masyarakat umum perlu bersikap dan bertindak positif mensukseskan program tersebut, antara lain dengan cara: 1) Memberikan dorongan kepada peserta didik dan warga belajar untuk belajar terus; 2) Mengurangi beban kerja anak-anak manakala mereka harus membantu meringankan beban ekonomi orang tuanya; 3) Membantu menyiapkan lingkungan belajar dan alat-alat belajar di rumah untuk merangsang kemauan belajar anak-anak; 4) Membantu biaya pendidikan; 5) Mengijinkan anak pindah sekolah, bila ternyata sekolah semula sudah tidak dapat menampung; 6) Bila diperlukan, membantu menyiapkan gedung untuk lokasi belajar; 7) Bersedia menjadi narasumber untuk keterampilan-keterampilan tertentu yang banyak dibutuhkan para pendidik dasar tingkat-tingkat akhir; 8) Mengizinkan peserta didik dan warga belajar magang di perusahaan-perusahaan dan perdagangan-perdagangan; 9) Responsif terhadap kegiatan-kegiatan sekolah, terutama yang dilaksanakan di masyarakat; dan 10) Bersedia menjadi orang tua angkat atau orang tua asuh bagi anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua, atau orang tuanya tidak mampu membiayai anak-anaknya.

2.4    Landasan Sosial Budaya Pendidikan

2.4.1   Pengertian Sosiologi Pendidikan

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Artinya bahwa mempelajari bagaimana manusia berhubungan satu dengan yang lainnya dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau sosial di suatu wilayah serta kaitannya dengan yang lainnya.

Jadi, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan dan interaksi manusia, baik individu maupun kelompok (masyarakat) dengan persekolahan (pendidikan) dan begitu pun sebaliknya, hubungan antara persekolahan (pendidikan) dengan manusia, sehingga terjalin kerja sama yang sinergi dan berkesinambungan antara manusia dengan pendidikan.

2.4.2   Sosiologi sebagai Landasan Pendidikan

  1. 1.    Sosiologi dan Pendidikan

Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam kitab muqaddimah mengatakan bahwa: “ Manusia adalah makhluk sosial, pernyataan ini mengandung bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendirian dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur kehidupannya dengan sempurna secara sendirian. Benar-benar sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya.”

Oleh karena itu, manusia memerlukan pendidikan, karena ia dalam keadaan tidak berdaya, dan ketidakberdayaan itu memerlukan bantuan orang lain. Sebab secara esensial bahwa pendidikan adalah media untuk menolong dan membantu manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Pendidikan mempunyai peran penting dalam kehidupan ini. Dengan proses pendidikan, manusia bisa berinteraksi dengan makhluk yang lainnya dan bahkan dengan sang Khaliknya. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pengembangan pribadi (mencakup pendidikan diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain/guru) dalam semua aspeknya (mencakup aspek jasmani, akal dan hati).

  1. 2.    Kebudayaan dan Pendidikan

Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal sama yaitu nilai-nilai. Pendidikan membuat orang berbudaya, pendidikan dan budaya adanya kebersamaan dan kemajuan. Makin banyak orang menerima pendidikan makin berbudaya orang itu dan makin tinggi kebudayaan makin tinggi pula pendidikan atau cara mendidiknya.

Pendidikan selalu berkaitan dengan manusia, sedang setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu.

2.4.3   Fungsi Sosial Budaya terhadap Pendidikan

Dalam perkembangan landasan sosial budaya memiliki fungsi yang amat penting dalam dunia pendidikan yaitu :

  1. 1.    Mewujudkan Masyarakat yang Cerdas

Yaitu masyarakat yang memiliki cita-cita dan harapan dapat demokratis dan beradab, menjungjung tinggi hak-hak asasi manusia dan bertanggung jawab dan berakhlak mulia tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif serta memiliki kesadaran dan solidaritas antar generasi dan antar bangsa.

  1. 2.    Transmisi Budaya

Yaitu salah satu tugas pendidikan sebagai bagian dar kebudayaan adalah mampu membentuk generasi baru menjadi orang-orang dewasa yang berbudaya, terutama berbudaya nasional.

  1. 3.    Pengendalian Sosial

Yaitu perlembagaan konsep-konsep untuk melindungi kesejahteraan individu dan kelompok ada sejumlah lembaga yang berfungsi melindungi kesejahteraan masyarakat seperti lembaga hukum, lembaga konsumen, badan pertahanan dan keamanan, pelestarian lingkungan, lembaga pemasyarakatan, lembaga pendidikan dan sebagainya.

  1. 4.    Meningkatkan Iman dan Takwa kepada Tuhan YME

Pendidikan sebagai budaya haruslah dapat membuat anak-anak mengembangkan kata hati dan perasaannya taat terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluknya.

  1. 5.    Analisis Kedudukan Pendidikan dalam Masyarakat

L.A. Cook mengutamakan fungsi lembaga pendidikan dalam masyarakat dan menganalisa hubungan sosial antara sekolah dengan berbagai aspek masyarakat. Penganut konsep ini misalnya menyelidiki hubungan antara masyarakat pedesaan atau lingkungan tertentu di kota dengan sekolah rendah dan menengah dalam kelompok ini termasuk juga mereka yang meneliti fungsi sekolah berhubungan dengan status sosial dalam lingkungan masyarakat tertentu.

2.4.4   Dampak Konsep Pendidikan

Konsep pendidikan mengangkat derajat manusia sebagai makhluk budaya yaitu makhluk yang diberkati kemampuan untuk menciptakan nilai kebudayaan dan fungsi budaya dan pendidikan adalah kegiatan melontarkan nilai-nilai kebudayaan dari generasi yang satu ke genarasi yang berikutnya. Pendidikan sebagai proses adalah suatu kegiatan memperoleh dan menyampaikan:

  1. Nilai-nilai sosial budaya bangsa adalah nilai-nilai yang kita junjung tinggi, kita amalkan, kita amankan adalah nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila.
  2. Kesadaran aspirasi pandangan hidup, cita-cita nasional dan tanggung jawab pendidikan merupakan adanya kesadaran terhadap semua hal (aspirasi pandangan hidup, cita-cita nasional, dan tanggung jawab pendidikan) merupakan kunci pokok dari keberhasilan usaha mencapai tujuan.
  3. Dinamika ilmu pengetahuan teknologi dan ekonomi.

Ketiga hal di atas sangat erat hubungannya dengan kegiatan pendidikan dimanapun pendidikan itu dilaksanakan, sesudah membahas tentang sosiologi, kebudayaan masyarakat jika dikaitkan dengan pendidikan maka ditemukan sejumlah konsep pendidikan.

  1. Keberadaan sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sekitarnya, keduanya saling menjunjung sekolah seharusnya menjadi agen pembangunan dimasyarakat.
  2. Perlu dibentuk badan kerjasama antara sekolah dengan tokoh-tokoh masyarakat termasuk wakil-wakil orang tua siswa untuk ikut memajukan pendidikan.
  3. Proses sosialisasi anak-anak perlu ditingkatkan.
  4. Dinamika kelompok dimanfaatkan untuk belajar.

2.5    Landasan Psikologis Pendidikan

Yang dimaksud dengan landasan psikologis disini adalah dasar atau fondasi dan asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah psikologi yang dijadikan sebagai titik tolak bagi dunia pendidikan.

2.5.1   Psikologi Perkembangan

Setiap makhluk hidup pasti mengalami adanya proses perkembangan. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh makhluk hidup tersebut. Jadi, perkembangan itu ialah tidak hanya ditujukan pada aspek psikologis saja, melainkan pada aspek biologis juga.

  1. 1.    Pengertian Psikologi Pendidikan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia perkembangan adalah berasal dari kata berkembang. Sedangkan berkembang adalah mekar terbuka atau membentang menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.

Jadi, perkembangan adalah proses pertumbuhan dan perluasannya kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan lain sebagainya seseorang menuju ke arah yang lebih sempurna atau baik. Tapi yang dimaksud perkembangan di sini adalah proses pertumbuhan kepribadian seseorang ke arah yang lebih sempurna atau lebih baik lagi.

  1. 2.    Pengertian Psikologi Pendidikan
    1. a.    Aliran Nativisme

Aliran ini beranggapan bahwa perkembangan manusia itu dipengaruhi dan ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa.

  1. b.    Aliran Empirisisme

Aliran ini menganggap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor lingkungan, pendidikan, dan pengalaman. Artinya, baik jahatnya seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar bukan lingkungan dalam (genetik).

  1. c.    Aliran Konvergensi

Aliran ini merupakan gabungan antara aliran empirisisme dan nativisme. Artinya bahwa hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia.

  1. 3.    Hikmah Mempelajari Psikologi Perkembangan

Adapun hikmah dalam mempelajari psikologi perkembangan, antara lain:

  1. Untuk memahami garis besar, pola umum perkembangan dan pertumbuhan anak pada tiap fasenya;
  2. Dapat memunculkan sikap senang bergaul dengan orang lain, terutama anak-anak remaja dengan  penuh perhatian kepada mereka baik dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat;
  3. Dapat mengarahkan seseorang untuk berbuat dan berprilaku yang selaras dengan tingkat perkembangan orang lain; dan
  4. Khusunya bagi pendidik dapat memahami dan memberikan bimbingan kepada anak, sesuai dengan taraf perkembangan anak didiknya, sehingga proses pendidikan akan berjalan dengan sukses dalam pencapaian tujuan.

2.5.2   Psikologi Belajar

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik, baik ketika berada di sekolah maupun di lingkungan rumah dan masyarakat.

Sedangkan menurut E. Usman effendi dan Juhaya S. Praja mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha atau interaksi yang dilakukan individu untuk memperoleh sesuatu yang baru dan perubahan keseluruhan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman tersebut akan nampak dalam penguasaan pola-pola sambutan (respon) yang baru terhadap lingkungan, yang berupa skill, habit, attitude, ability, knowledge, understanding, appreciation, emosional, hubungan sosial, jasmani dan etika atau budi pekerti.

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang yang bersifat menetap melalui pengalaman dan latihan yang berinteraksi dengan lingkungannya juga melibatkan proses kognitif.

  1. 1.    Dasar (Hakikat) Belajar

Manusia pada hakikatnya adalah belajar. Proses belajar tersebut sudah dimulai sejak manusia ada di dunia ini. Ia lahir tanpa memiliki pengetahuan, sikap, dan kecakapan apa pun, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi mengetahui, mengenal, dan menguasai banyak hal. Itu terjadi karena proses belajar dengan menggunakan potensi dan kapasitas diri yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. al-Nahl ayat 78 yang berbunyi:

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«ø‹x© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noy‰Ï«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Ngalim Purwanto menganalogikan akan pentingnya seseorang itu untuk belajar, mengatakan bahwa jika bayi yang dilahirkan tidak mendapatkan bantuan dari orang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak dididik/diajar oleh manusia dewasa. Benar bahwa bayi yang baru dilahirkan telah membawa beberapa naluri (instink) dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya, tetapi jumlahnya sangat terbatas sekali.

Maka dari itu, seorang mukmin harus mampu mensyukuri anugerah itu dengan memfungsikan potensi dan kapasitasnya untuk selalu belajar. Karenanya, orang mukmin tidak akan melakukan dua kali kekeliruan dan situasi yang serupa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi Muhammad SAW, bahwa beliau bersabda. Tidak sepantasnya orang mukmin terjerumus kedalam satu lubang dua kali.”

Orang yang tidak mau belajar dan tidak memanfaatkan potensi dan kapasitasnya berarti orang tersebut telah menjauhi hakikatnya sebagai manusia. Derajat orang seperti itu degambarkan oleh Allah lebih rendah dibandingkan binatang. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam QS. Al-‘Araf ayat:179 yang berbunyi:

ô‰s)s9ur $tRù&u‘sŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o„ !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9’ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd ‘@|Êr& 4 y7Í´¯»s9’ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”

Jadi, dapat disimpulkan bahwa  proses belajar itu adalah salah satu proses memperlihatkan eksistensi dan jati diri seseorang dalam upaya untuk mencapai kesempurnaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

  1. 2.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar

Dari definisi tentang belajar dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang menimbulkan terjadinya suatu perubahan atau pembaharuan dalam tingkah laku dan atau kecakapan. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas dalam perubahan itu dan hasil belajar yang sebesar-besarnya, maka perlu diperhatikan berbagai faktor atau kondisi-kondisi yang mempengaruhi proses belajar tersebut. Kondisi/faktor-faktor itu mungkin terdapat di dalam diri individu (internal), mungkin pula terdapat di luar diri individu/pelajar (eksternal). Atas dasar tersebut beberapa faktor atau kondisi yang harus diperhatikan antara lain:

  1. a.    Faktor-faktor Luar (Eksternal) Siswa

Faktor-faktor yang berada di luar (eksternal) siswa yang mempengaruhi terhadap akan keberhasilan proses pembelajaran, sebagai berikut: 1) Bahan Pelajaran; 2) Guru dan metode mengajar; 3) Media pendidikan; dan 4) Situasi lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

  1. b.     Faktor-faktor Dalam (Internal) Siswa

Faktor-faktor internal siswa adalah semua faktor yang ada dalam diri siswa. Karena itu pada garis besarnya meliputi faktor fisik (jasmaniah) dan faktor-faktor psikis (mental).

Pertama, faktor-faktor fisik (jasmaniah). Faktor-faktor fisik ini berkaitan dengan kesehatan badan dan kesempurnaannya, yaitu tidak mengalami cacat atau kekurangan, yang dapat menjadi hambatan dalam meraih kesuksesan.

Kedua, faktor-faktor psikis (mental). Di antaranya: motivasi, berpikir (daya ingat dan daya konsentrasi), intelegensi (tingkat kecerdasan), sikap (attitude), perasaan dan emosi, kematangan pertumbuhan, dan kemauan dan bakat (aptitude).

Para ahli psikologi pendidikan atau ahli psikologi belajar berpendapat bahwa psikologi pendidikan adalah psikologi yang diterapkan dalam belajar atau pendidikan. Dijelaskan pula bahwa belajar yang efisien juga tergantung atau dipengaruhi oleh iklim belajar yang mencakup keadaan fisik, sosial, mental siswa, minat, sikap, dan nilai-nilai, sifat-sifat, kepribadiannya, kecakapan-kecakapannya, dan sebagainya.

2.5.3   Psikologi Sosial

Psikologi sosial adalah psikologi yang secara khusus membicarakan tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi sosial.

Pendapat lain mengatakan bahwa psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar kelompok.

Ada suatu kecenderungan umum bahwa orang-orang membentuk kesan tentang orang lain dalam sekejap saja. Melihat orang atau gambarannya, dia menafsirkan inteligensi, umur, latar belakang, ras, agama, tingkat pendidikan, kejujuran, dan sebagainya. Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memiliki tiga kunci, yaitu: 1) Kepribadian orang itu; 2) Perilaku orang itu; dan 3) Latar belakang situasi.

Motivasi juga merupakan salah satu aspek psikologi sosial, karena tanpa adanya motivasi tertentu seseorang akan merasa kesulitan untuk berpartisipasi di masyarakat. Menurut Klinger ada beberapa yang menentukan motivasi, di antaranya:

  1. Minat dan kebutuhan individu. Apabila minat dan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak-anak dipenuhi, maka motivasi belajarnya akan muncul. Dengan catatan bahwa minat dan kebutuhannya yang mendukung kepada hal-hal yang berhubungan dan menunjang dengan proses belajar. Sebab kalau anak terlalu dikabulkan dengan apa yang dia inginkan, di khawatirkan anak tersebut akan menjadi orang yang manja dan terlalu ketergantungan sama orang lain. Sehingga dia akan menjadi orang yang pasif, karena selalu menunggu sesuatu dari orang lain.
  2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas, dengan persepsi yang bersifat mudah dan gampang. Jika anak-anak memandang kesulitan pelajaran itu tidak terlalu berat, melainkan cukup menantang, maka motivasi belajar pun akan muncul. Tapi sebaliknya, jika persepsi sesuatu, sejak awal sudah dianggap susah atau berat, maka motivasi belajar pun akan mengendor dan bahkan akan menurun.
  3. Harapan sukses. Berikan dan tanamkanlah kepada anak-anak tentang keberhasilan dan kesuksesan. Sebab siapa pun orangnya, akan sangat dipastikan ingin menjadi orang yang sukses dan berhasil. Jadi, persepsi orang sukses dan berhasil itu sudah tertanam, maka anak-anak itu akan sangat termotivasi dan bersungguh-sungguh dalam belajarnya, tidak akan asal-asalan.

2.5.4   Dampak Landasan Psikologis terhadap Pendidikan

Tinjauan tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar, dan psikologi sosial memberikan dampak kepada dunia pendidikan. Dampak itu sebagian besar pada penyusunan kurikulum, metodologi, mempersiapkan media pembelajaran, cara mengadakan kontak sosial, dan lain sebagainya.dampak kepada konsep pendidikan adalah sebagai berikut:

Pertama, psikologi perkembangan yang bersifat umum, yang berorientasi pada afeksi dan pada kognisi, semuanya memberi petunjuk kepada pendidikan bagaimana seharusnya ia menyiapkan dan mengorganisasikan materi pendidikan serta bagaimana anak-anak agar mereka mau belajar dengan sendirinya atau secara sukarela.

Kedua, psikologi belajar. Belajar yang efektif dan efisien sangat tergantung atau dipengaruhi oleh iklim belajar yang mencakup keadaan fisik, sosial, mental siswa, minat, sikap, dan nilai-nilai, sifat-sifat, kepribadiannya, kecakapan-kecakapannya, dan sebagainya.

Ketiga, psikologi sosial. Persepsi diri atau konsep tentang diri sendiri ternyata bersumber dari perilaku yang over dan persepsi kita terhadap lingkungan dan banyak dipengaruhi oleh sikap serta perasaan kita. Pembentukan sikap bisa secara alami di kondisi dan meniru sikap para tokoh.

Sama halnya dengan sikap, motivasi anak-anak juga perlu dikembangkan pada saat yang memungkinkan melalui jalan: a) Pemenuhan minat dan kebutuhannya; b) Tugas-tugas yang menantang; dan c) menanamkan harapa yang sukses dengan cara seringkali memberikan pengalaman sukses. Hubungan yang intim diperlukan dalam proses konseling, pembimbingan, dan belajar dalam kelompok. Karena itu hubungan seperti ini perlu dikembangkan oleh para pendidik. Pendidik belum membendung perilaku agresif anti sosial tetapi mengembangkan agresif pro-sosial dan sanksi. Pengurangan agresif sosial dapat dilakukan dengan menanamkan ketertiban, tidak mengganggu satu sama lain, dan berupaya agar anak-anak tidak mengalami rasa putus asa.

2.6    Landasan Religius Pendidikan

Pada dasarnya diturunkan agama, melalui kitab-kitab suci dan diutusnya para Rasul, kemuka bumi ini adalah bertujuan untuk menyempurnakan manusia. Artinya bahwa agama merupakan petunjuk Tuhan yang mengarahkan manusia untuk mencapai kesempurnaan hakiki manusia. Tujuan agama yang sebenarnya adalah memberi petunjuk bagi manusia dalam berbagai dimensi dan potensi, untuk mengaktualisasikan semua potensinya yang ada dalam dirinya dan dapat mempertanggungjawabkan kepada keharibaan Illahi suatu saat nanti. Jika demikian, maka agama adalah perantara dalam membantu tugas manusia untuk merealisasikan tujuan mulianya.

2.6.1   Pengaruh Agama bagi Pendidikan

Pengaruh agama terhadap dunia pendidikan, secara garis besarnya dapat diklasifikasikan pada dua lembaga pendidikan, yaitu lembaga pendidikan sekolah dan di luar sekolah, baik di keluarga maupun masyarakat.

  1. 1.    Pendidikan Sekolah

Di masyarakat primitif, lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga tani, maka dapat dipastikan dia akan menjadi petani seperti orang tua dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula anak seorang nelayan atau anak masyarakat perkebunan.

Dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan suatu keniscayaan sebagai pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Memang sangat sulit untuk menentukan secara pasti mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan pada anak-anak. Tapi walaupun demikian pendidikan agama yang diberikan di lembaga pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan. Sebagai contoh, misalnya anak-anak yang dihasilkan di lembaga pendidikan keagamaan khusus, seperti: pesantren, seminari, vihara, dan lain sebagainya.

Pendidikan agama di lembaga pendidikan, bagaimanapun akam memberi pengaruh bagai pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung dari berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada pembentukan kebiasan yang selaras dengan tuntunan agama.

Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama di keluarganya. Dalam konteks ini, peranan guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.

  1. 2.    Pendidikan di Luar Sekolah
    1. a.    Pendidikan di Keluarga

Barangkali sulit untuk mengabaikan peran serta keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak masa balita hingga usia dewasa memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Maka, tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Mulai dari bangun tidur sampai mau kembali tidur lagi, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga.

Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun dia dibekali oleh berbagai potensi bawaan. Walaupun demikian, bayi tidak akan mungkin dapat berkembang secara normal tanpa adanya intervensi dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa aanya bimbingan dan pengarahan serta pengawasan yang teratur, bayi akan kehilangan potensi untuk berkembang secara normal, walaupun dia sudah memiliki dan membawa berbagai potensi itu.

Dalam konsep Islam sangat jelas, bahwa anak yang baru lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa pun, tapi dia diberikan dan dibekali oleh Tuhan berbagai potensi, seperti pendengaran, penglihatan, akal, dan lain sebagainya. Dalam QS. al-Nahl ayat 78 yang berbunyi:

ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«ø‹x© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noy‰Ï«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Apalagi bayi tersebut sudah memiliki kecenderungan untuk mengakui adanya Tuhan di jelaskan dalam QS. al-‘Araf ayat 172 yang berbunyi:

øŒÎ)ur x‹s{r& y7•/u‘ .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏd͑qßgàß öNåktJ­ƒÍh‘èŒ öNèdy‰pkô­r&ur #’n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4’n?t/ ¡ !$tRô‰Îgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x‹»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Jadi, bayi sejak awalnya sudah dibekali oleh Tuhan berbagai potensi, termasuk potensi untuk mengenali diri-Ny, wujud-Nya, dan sifat-Nya.

Potensi-potensi itu semua tidak akan berarti apapun tanpa adanya bantuan, bimbingan, arahan, dan pengawasan dari  orang dewasa. Artinya bayi tersebut sangat membutuhkan orang tuanya untuk meluruskan potensi dan kecenderungan tersebut. Sebab kalau tidak, maka bayi tersebut akan berkembang dan tumbuh secara tidak normal. Inilah esensi dari pendidikan, yakni membantu seseorang yang menuju pada kedewasaan yang sempurna dan utuh secara normal. Inilah esensi dari pendidikan, yakni membantu seseorang yang menuju pada kedewasaan yang sempurna dan utuh serta normal.

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama dalam proses pendidikan. Dan kedua orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama dalam  proses tersebut. Kewajiban kedua orang tua untuk selalu membentuk, membimbing, mengarahkan, dan mengawasi perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar dan utama bagi pembentukan jiwa keaagamaan. Perkembangan agama sangat bersesuaian dengan unsur-unsur kejiwaan, sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena yang menyangkut kejiwaan manusia sangat komplek dan rumit. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin atau terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. Dalam hal inilah, peran keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anaknya.

  1. b.    Pendidikan di Masyarakat

Masyarakat merupakan lembaga pendidikan. Para ahli pendidikan menyepakati bahwa pendidikan di masyarakat termasuk pada lembaga pendidikan yang dapat mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa keberagaman seorang peserta didik. Dan juga asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan sangat memberi dampak dalam pembentukan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbahan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di lembaga pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini, besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian yang terintegrasikan dengan pertumbuhan psikis.

Disini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat santri, misalnya akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung seberapa jauh masyarakat tersebut menjungjung norma-norma keagamaan itu sendiri.

2.6.2   Urgensi Agama bagi Landasan Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha disengaja yang diperuntukkan dalam upaya untuk mengantarkan peserta didik munuju pada tingkat kematangan atau kedewasaan, baik moral maupun intelektual. Terlebih dalam menghadapi tantangan globalisasi ini, dimana begitu cepatnya informasi dari seluruh penjuru dunia dengan mudah dan cepat masuk ke ruang-ruang pribadi keluarga kita, entah itu informasi yang baik ataupun buruk. Dampak dari dunia global tersebut, dapat kita lihat dari banyaknya peristiwa di Indonesia yang menggambarkan penurunan kualitas akhlak atau moralitas masyarakat Indonesia, tawuran antar pelajar, pengeroyokan, pencurian, kekerasan dalam rumah tangga hingga korupsi di kalangan pejabat negara, baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Begitu banyak faktor yang menyebabkan peristiwa-peristiwa tersebut terjadi, di antaranya: moral, politik, pendidikan, kesempatan kerja, pengaruh budaya asing, dan penegakan hukum. Lantas, bagaimana solusinya? Supaya peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas tidak mengena pada generasi muda kita, terutama kepada para pelajar.

Manusia berpotensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan, kesucian dan maksiat, kelembutan dan kekerasan. Agama, sebetulnya tidak mencampurkan kedua potensi yang bertentangan itu. Karena itu, keburukan, kemaksiatan, dan kekerasan tida sesuai dengan jiwa agama. Melalui pendidikan agama (education), potensi-potensi positif itu hendak ditarik keluar dari dalam diri peserta didik untuk dikembangkan sedemikian rupa sehingga dia menjadi insan beragama.

Pelajaran agama tidak bisa berhenti pada tahap informatif saja, melainkan harus bersifat aplikatif juga. Sebab kodrat agama adalah dihayati, bukan diketahui. Maka, guru agama yang menekankan hapalan dengan sendirinya akan membuat jenuh bagi murid. Celakanya lagi, para murid kemudian menjadi lebih segan berhadapan dengan pelajaran agama. Manusia tidak diciptakan untuk keserakahan, kekejaman, tipu daya, hal-hal yang tidak senonoh, dan lain sebagainya. Itu bukan fitrahnya, karena pendidikan agama harus mampu menyadarkan murid akan fitrahnya sebagai manusia.

2.7    Landasan Ekonomi Pendidikan

Kualitas atau mutu sebuah bangsa ditentukan oleh beberapa faktor antara lain pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Ketahanan atau kemampuan daya beli merupakan kekuasatan ekonomi. Jika ekonomi sebuah bangsa kuat, maka sepertiga kualitas bangsa tersebut hebat.

2.7.1   Pengertian Landasan Ekonomi

Ekonomi merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang aspek pembangunan pendidikan. Menurut bahasa, ekonomi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu, eikos dan nomos yang memiliki arti rumah tangga dan aturan. Jadi ekonomi adalah aturan-aturan yang mengatur urusan rumah tangga.

Dalam era globalisasi ini peran ekonomi sebagai salah satu pilar kemajuan bangsa merupakan keniscayaan. Oleh karena itu, ekonomi sangat penting. Landasan ekonomi adalah suatu hal yang membahas peran ekonomi, fungsi produksi, efesiensi, dan efektivitas biaya dalam pendidikan. Ekonomi merupakan salah satu faktor yang cukup mempengaruhi dalam mengembangkan pendidikan.

2.7.2   Urgensi Ekonomi sebagai Landasan Pendidikan

Ekonomi dijadikan sebagai landasan pendidikan, karena dalam bidang pendidikan perkembangan ekonomi adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi maju mundurnya dunia pendidikan. Sebagai contoh dalam perkembangan ekonomi makro yang mempengaruhi dunia pendidikan adalah banyak orang kaya yang sudah mau secara sukarela menjadi bapak angkat dan donatur tetap, agar anak-anak orang yang kurang mampu dapat terjun kedunia pendidikan. Perkembangan lain menggembirakan dalam dunia pendidikan adalah terlaksananya sistem ganda dalam pendidikan. Sistem ini bisa berlangsung pada sejumlah lembaga pendidikan, yaitu kerja sama antara sekolah dengan pihak usahawan dalam proses belajar mengajar para siswa.

Dampak lain dari keberhasilan pembangunan ekonomi yang berpengaruh dalam dunia pendidikan adalah munculnya sejumlah sekolah  ungul. Sekolah-sekolah ini didirikan oleh orang-orang kaya atau konglomerat yang bertebaran diseluruh Indonesia. Sudah tentu kondisi sekolah seperti ini berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya.

Ekonomi memiliki implikasi yang cukup menentukan keberhasilan pendidikan. Dengan ekonomi yang kuat maka:

  1. Prasarana, sarana, media, alat belajar, dan sebagainya dapat dipenuhi;
  2. Proses belajar mengajar dapat dilaksanakan dengan lebih intensif, sebab para pendidik lebih dapat memusatkan perhatiannya, mereka tidak mencari sambilan di luar:
  3. Motivasi dan kegairahan kerja personalia pendidikan meningkat, mereka siap pula untuk peningkatan profesi.

2.8    Landasan Manajemen Pendidikan

Dalam sejarah perkembangannya, manajemen telah dipengaruhi oleh faktor agama, tradisi, dan adat serta lingkungan sosial budayanya. Berpikir secara manajemen adalah berpikir mengendalikan, mengarahkan, dan memanfaatkan segala faktor-faktor ataupun sumber-sumber yang menurut perencanaan diperlukan untuk menyelesaikan ataupun mencapai suatu tujuan tertentu.

2.8.1   Landasan Manajemen Pendidikan

Landasan manajemen adalah suatu proses untuk mengorganisasi dan memakai sumber-sumber dalam rangka menyelesaikan tujuan yang sudah ditentukan dan dijadikan sebagai dasar pendidikan.

2.8.2   Manajemen  sebagai Landasan Pendidikan

Manajemen dijadikan landasan dalam pendidikan karena:

Pertama, manajemen pendidikan mempunyai pengertian kerja sama untuk mencapai tujuan pendidikan. Seperti kita ketahui tujuan pendidikan itu merentang dari tujuan yang sederhana sampai dengan tujuan kompleks, tergantung lingkup dan tingkat pengertian pendidikan mana yang dimaksud.

Kedua, manajemen pendidikan mengandung pengertian proses untuk mencapai tujuan pendidikan. Proses itu dimulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemantauan, dan penilaian.

Ketiga, manajemen pendidikan dapat dilihat dengan kerangka berpikir sistem. Sistem adalah keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian dan bagian-bagian itu berinteraksi dalam suatu proses untu mengubah masukan menjadi keluaran.

Keempat, manajemen  pendidikan juga dapat dilihat dari segi kepemimpinan. Manajemen pendidikan dilihat dari kepemimpinan merupakan usaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana dengan kemampuan yang dimiliki administrator pendidikan itu, ia dapat melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo wangun karso, dan ing ngarso sung tulodo dalam pencapaian pendidikan.

Kelima, manajemen pendidikan juga dapat dilihat dari segi komunikasi. Komunikasi dapat diartikan secara sederhana sebagai usaha untuk membuat orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, dan kita juga mengerti apa yang dimaksudkan orang lain itu.

2.8.3   Fungsi Manajemen Pendidikan

Dalam proses mengelola pendidikan, fungsi pokok manajemen pendidikan sangat diperlukan, supaya proses pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien. Adapun fungsi pokok manajemen pendidikan, yaitu: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling).

Perencanaan merupakan fungsi pertama yang sangat penting dalam manajemen. Perencanaan akan menentukan fungsi-fungsi manajemen yang lain. Dapat dikatakan bahwa fungsi perencanaan merupakan fungsi pengarah bagi fungsi manajemen yang lainnya.

Lebih jauh Hasibuan menjelaskan tentang pentingnya perencanaan, yaitu:

  1. Tanpa perencanaan dan rencana berarti tidak ada tujuan yang akan dicapai;
  2. Tanpa perencanaan dan rencana tidak akan ada pedoman pelaksanaan sehingga banyak pemborosan;
  3. Rencana adalah dasar pengendalian, tanpa ada rencana perencanaan tidak dapat dilakukan;
  4. Tanpa perencanaan dan rencana berarti tidak ada keputusan dan proses manajemen pun tidak ada.

Fungsi manajemen kedua adalah pengorganisasian. Fungsi ini sangat berkaitan dengan fungsi perencanaan, pengorganisasian berarti menciptakan struktur dengan bagian-bagian yang diintegrasikan, sehingga hubungan yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Sedangkan organisasi diartikan sebagai gambaran tentang pola-pola, skema, bagan yang menunjukkan garis-garis perintah, kedudukan karyawan, hubungan-hubungan yang ada, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pengorganisasian merupakan pengaturan seluruh sumber daya pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan.

Fungsi ketiga adalah pelaksanaan, yaitu fungsi manajemen yang terpenting dan paling dominan dalam proses manajemen. Dalam pelaksanaan tidak dapat dilepaskan dari fungsi manajer sebagai pimpinan, maka diperlukan sebuah kepemimpinan. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan kelompok dalam upaya menyusun dan mencapai tujuan.

Fungsi keempat adalah pengawasan. Fungsi ini merupakan salah satu kunci akan keberhasilan dalam keseluruhan proses pendidikan. Pengawasan merupakan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan dengan tujuan untuk menentukan harapan-harapan yang nyata dicapai dan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap segala penyimpangan yang terjadi. Pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimana pun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu: menetapkan standar pelaksanaan, pengukuran pelaksanaan dibandingkan dengan standar dan menentukan kesenjangan antara pelaksanaan dan standar.

2.9    Inovasi Pendidikan

Dalam rangka menyesuaikan diri dengan tuntunan zaman dan perubahan yang terjadi pada masyarakat luas, maka dunia pendidikan harus selalu melakukan pembaharuan dan inovasi dalam berbagai aspeknya. Agar tidak jauh ketinggalan dari persaingan pendidikan global.

Inovasi bukan berarti perombakan secara total dalam dunia pendidikan, melainkan suatu upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan melalui sendi-sendi tertentu. Sehingga diperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tuntunan zaman, pada umumnya dan dunia usaha, pada khususnya. Hal itu harus dilakukan, sebab yang menjadi objek dan subjek pendidikan adalah manusia.

2.9.1   Pengertian dan Tujuan Inovasi Pendidikan

  1. 1.    Pengertian Inovasi Pendidikan

Inovasi berasal dari kata Latin, yaitu innovation, artinya pembaharuan dan perubahan, kata kerjanya innovo, artinya membaharui dan mengubah. Jadi, inovasi adalah suatu perubahan yang baru menuju ke arah perbaikan atau berbeda dari yang sudah ada sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan terencana (tidak secara kebetulan).

Inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang, baik berupa penemuan baru atau baru ditemukan orang, yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah pendidikan.

Menurut Santoso S. Hamijoyo dalam bukunya Cecep Wijaya mengatakan bahwa pembaharuan pendidikan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif (berbeda dari yang sebelumnya) serta secara sengaja diusahakan atau dilakukan untuk meningkatkan kemampuan, guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Dari pengertian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pertama,baru. Artinya apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima pembaharuan, meskipun kemungkinan bukan hal yang baru lagi bagi orang lain. Akan tetapi, yang lebih penting dari sifatnya yang baru, yaitu sifat kualitatif yang berbeda dari sebelumnya.

Kedua, kualitatif. Artinya dalam pembaharuan itu dimungkinkan adanya reorganisasi ‘pengaturan kembali’ unsur-unsur dalam pendidikan. Jadi bukan semata-semata penjumlahan atau penambahan unsur-unsur setiap komponen.

Ketiga, kesengajaan merupakan unsur perkembangan baru dalam pemikiran para pendidik dewasa ini.

Keempat, meningkatkan kemampuan. Mengandung arti bahwa tujuan utama pembaharuan adalah kemampuan sumber-sumber tenaga, uang, dan sarana termasuk struktur dan prosedur organisasi.

Kelima, tujuan. Artinya semua yang direncanakan harus dirinci dengan jelas tentang sasaran dan hasil-hasil yang ingin dicapai, yang sebisa mungkin dapat diukur untuk mengetahui perbedaan antara keadaan sesudah dan sebelum pembaharuan dilaksanakan.

  1. 2.    Tujuan Inovasi Pendidikan

Tujuan inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi, relevansi, kualitas, dan efektivitas sarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya, dengan menggunakan uang, sumber tenaga, alat, dan waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya.

Adanya inovasi dalam dunia pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan dan menyongsong arah perkembangan dunia  pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan lebih pesat dan lebih baik lagi. Dengan kata lain, diadakannya inovasi pendidikan ini adalah: 1) Pembaharuan pendidikan sebagai tantangan baru dan pemecahan terhadap masalah-masalah yang dijumpai dalam dunia pendidikan, baik dengan cara konvensional maupun inovatif dan 2) Inovasi pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan pendekatan yang lebih efektif dan ekonomis.

2.9.2   Ruang Lingkup Inovasi Pendidikan

  1. 1.    Sumber Terjadinya Inovasi Pendidikan

Perubahan sosial menjadi salah satu faktor terjadinya inovasi pendidikan. Pada hakikatnya setiap perubahan sosial itu bersifat kompleks dan relatif. Kompleks artinya menyangkut berbagai bidang kehidupan dan relatif artinya dari sudut pandang yang menguntungkan tetapi dari sudut pandang lain merugikan.

Mengenai sumber munculnya inovasi, termasuk inovasi dalam dunia pendidikan, sekurang-kurangnya terdapat tiga pandangan, yaitu:

Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pembaharuan itu terlaksana dengan penuh makna dan tumbuh mengakar di masyarakat luas, sebaiknya ide pembaharuan itu muncul dari pihak bawah atau dikenal dengan istilah buttom-up innovation. Pandangan ini merupakan pandangan yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreasi, dan inisiatif dari pihak-pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, misalnya guru, kepala sekolah, siswa, lingkungan masyarakat, dan lain sebagainya.

Kedua, menyatakan bahwa tanpa ada persetujuan atau keputusan dan kebijakan dari pihak atas (dari pusat), maka orang-orang yang ada di tingkat bawah dan daerah akan merasa ragu-ragu atau kurang merasa terdorong untuk ikut serta menyebarkan dan melaksanakan pembaharuan. Oleh karena itu, sebaiknya ide-ide pembaharuan itu muncul dari pihak atas atau pusat sebagai penentu dan pemegang kebijakan. Sebab perubahan dan penemuan sesuatu yang baru itu, dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai kebijakan yang ada di pemerintahan, baik pusat maupun daerah.

Ketiga, menyatakan bahwa yang terpenting gagasan dalam proses perubahan itu berlangsung secara sedikit demi sedikit, aspek demi aspek, dan berlahan demi berlahan, tetapi berlangsung secara terus menerus dari waktu ke waktu.

  1. 2.    Bidang-bidang Inovasi Pendidikan

Berdasarkan komponen yang ada keseluruhan sistem pendidikan, terdapat banyak hal yang perlu mendapat perubahan, baik itu peningkatan, penyempurnaan, maupun perbaikan melalui kegiatan inovasi. Bidang-bidang tersebut, antara lain menyangkut peserta didik, tujuan pendidikan, materi bahan ajar, media pembelajaran, fasilitas pendidikan, metode  pembelajaran, komunikasi di kelas, dan lain sebagainya.

  1. 3.    Jenis-jenis Inovasi Pendidikan

Jenis inovasi pendidikan memang tidak terbilang jumlahnya, namun itu semua dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: objek, derajat, dan sifatnya. Berdasarkan objeknya, yakni objek atau hal yang dikenai pembaharuan. Jenis inovasi ini terdiri dari tiga jenis, yaitu: 1) Inovasi dalam jenis hubungan antar orang, misalnya pembaharuan dalam peranan guru, perubahan dalam tata laksana guru, yang harus berdasarkan pengambilan keputusan pada informasi dan bukan pada selera perorangan atau pemimpin; 2) Inovasi jenis software, misalnya perubahan mengenai tujuan dan struktur kurikulum berdasarkan model sistem penyampaian dan cara-cara penilaian kurikulum dan pendidikan; dan 3) Inovasi dalam jenis hardware, misalnya perubahan dan bentuk ruang kelas dalam rangka memenuhi tuntutan baru karena terjadi pembaharuan dalam hubungan antar orang.

Inovasi pendidikan berdasarkan derajat atau tingkatannya dikelompokkan ke dalam empat jenis, di antaranya; 1) Jenis pembaharuan dalam nilai atau wawasan (orientasi) pendidikan; 2) Pembaharuan dalam jenis operasi tata laksana pengelolaan yang terdiri atas serangkaian pengelolaan mulai dari penelitian dan pengembangan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, penilaian, dan pengawasan; 3) Pembaharuan dalam jenis tugas dan fungsi; dan 4) Pembaharuan dalam jenis keahlian atau kemampuan-kemampuan khusus yang dituntut dari para petugas tata laksana atau guru, karena adanya perubahan dalam sistem pengajaran.

Dilihat dari sifatnya, inovasi di dunia pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok, yaitu: pertama, pengganti, misalnya inovasi dalam bentuk penggantian jenis sekolah, penggantian bentuk-bentuk perabot, alat-alat, guru, atau sistem yang lama diganti dengan yang baru; kedua, perubahan, misalnya uapaya mengubah tugas guru yang tadinya hanya bertugas mengajar, juga harus bertugas sebagai guru bimbingan dan penyuluhan; ketiga, penambahan; keempat, penyusunan kembali berbagai komponen yang ada dalam sistem dengan maksud agar mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman; kelima, penghapusan, upaya pembaharuan dengan cara menghilangkan aspek-aspek tertentu dalam pendidikan, atau pengurangan komponen-komponen tertentu dalam pendidikan, atau penghapusan pola atau cara-cara lama; dan keenam, penguatan, yaitu upaya peningkatan untuk memperkokoh atau memantapkan kemampuan atau pola dan cara-cara yang sebelumnya terasa lemah.

  1. 4.    Proses Inovasi Pendidikan

Proses inovasi pendidikan mempunyai empat tahapan, di antaranya:

  1. a.    Invention (Penemuan)

Invention meliputi penemuan-penemuan tentang sesuatu hal yang baru, biasanya merupakan adaptasi dari yang telah ada. Akan tetapi pembaharuan yang terjadi dalam pendidikan, terkadang menggambarkan suatu hasil yang sangat berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.

  1. b.    Development (Pengembangan)

Dalam proses pembaharuan biasanya harus mengalami suatu pengembangan sebelum ia masuk dalam dimensi skala besar. Development sering kali bergandengan dengan riset, sehingga prosedur research dan development merupakan sesuatu yang biasanya digunakan dalam pendidikan. Research dan development, meliputi berbagai aktivitas, antara lain riset dasar, seperti: pencarian dan pengujian teori-teori belajar.

  1. c.    Diffusion (Penyebaran)

Konsep diffusion seringkali digunakan secara sinonim dengan konsep dissemination, tetapi di sini diberikan konotasi yang berbeda. Definisi diffusion menurut Roger adalah suatu persebaran suatu ide baru dari sumber invention-nya kepada pemakai atau penyerap yang terakhir.

  1. d.    Adoption (Penyerapan)

Secara mendetail, menurut Katz dan Hamilton definisi proses pembaharuan dan difusi dalam butir-butir berikut ini: 1) Penerimaan; 2) Melebihi waktu biasanya; 3) dari beberapa item yang spesifik, ide, atau unit-unit yang dapat mengadopsi lainnya berkaitan; 5) Saluran komunikasi yang spesifik; 6) Terhadap struktur sosial; dan 7) Terhadap suatu sistem nilai atau kultur tertentu.

2.9.3   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inovasi Pendidikan

Pada dasarnya banyak hal yang menuntut diadakannya inovasi pendidikan, adapun hal-hal tersebut, sebagai berikut:

  1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan.
  2. Pertambahan penduduk, sekaligus bertambahnya keinginan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, menuntut adanya perubahan, sehingga menyebabkan daya tampung, ruang, dan fasilitas pendidikan yang sangat tidak seimbang.
  3. Meningkatkan animo masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Hal ini diakibatkan oleh kemajuan IPTEK dewasa ini. Namun di satu sisi, kesempatan untuk memperoleh itu sangat terbatas, sehingga bermunculan sekolah-sekolah favorit, sekolah plus, dan sekolah unggul.
  4. Menurunnya kualitas pendidikan, mutu pendidikan yang dirasakan semakin menurun belum mampu mengikuti perkembangan IPTEK, sehingga sangat menuntut adanya perubahan dalam pendidikan.
  5. Kurang adanya relevansi antara pendidikan dan kebutuhan masyarkat yang sedang membangun. Dalam hal ini, masyarakat menuntut adanya lembaga pendidikan yang benar-benar mampu diharapkan, terutama yang siap pakai dengan dibekali skill yang diperlukan dalam pembangunan.
  6. Belum menyebarnya alat organisasi yang efektif serta belum tumbuhnya suasana yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dituntut oleh keadaan sekarang dan yang akan datang. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan dan wawasan masyarakat untuk membangun dirinya pada kemajuan-kemajuan.

2.9.4   Urgensi Inovasi dalam Dunia Pendidikan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa inovasi dalam bidang apapun tidak muncul dengan sendirinya, namun didorong oleh kebutuhan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi. Demikian pula, inovasi dalam bidang pendidikan, biasanya muncul dari gagasan untuk memecahkan persoalan atau krisis yang terjadi atau dirasakan dalam sistem pendidikan.

Ada banyak faktor yang mendorong untuk dilakukan upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan. Faktor tersebut ada yang berkenaan dengan kemampuan sistem pendidikan itu sendiri, dan ada pula faktor yang berkenaan dengan adanya perubahan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Adanya perubahan dalam dunia pendidikan, merupakan suatu keniscayaan dalam rangka untuk: 1) Meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan Indonesia; 2) Meningkatkan daya saing lulusan pendidikan Indonesia dengan pendidikan yang ada di luar negeri; 3) Mengefektifkan dan mengefesiensikan sarana dan prasarana serta situasi dan kondisi yang ada; 4) Meningkatkan kualitas dan kompetensi seorang pendidik; 5) Bisa mengikuti dan menyesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan dunia global, terutama akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta komunikasi; 6) Mengeliminasi atau menghapus terhadap komponen-komponen pendidik yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia pendidikan global.

2.9.5   Kendala-kendala dalam Inovasi Pendidikan

Kendala-kendala yang mempengaruhi akan keberhasilan dalam usaha inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum, antara lain: 1) Perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi; 2) Konflik dan motivasi yang kurang sehat; 3) Lemahnya berbagai faktor penunjang, sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan; 4) Keuangan yang tidak terpenuhi; 5) Penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi; dan 6) Kurang adanya hubungan sosial dan publikasi. Untuk menghindari masalah-masalah tersebut, maka semua pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan, seperti guru, siswa, orang tua, siswa, dan masyarakat umumnya harus dilibatkan secara aktif. Sehingga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat berhasil dengan baik.

2.10Profesionalisasi Guru

Pendidik mempunyai dua arti: pertama, pendidik dalam arti luas adalah semua orang yang berkewajiban untuk membina anak-anaknya. Karena secara alamiah, semua anak sebelum dewasa berhak untuk menerima pembinaan dari orang-orang yang dewasa, agar mereka dapat berkembang dan tumbuh secara wajar. Dalam hal ini orang-orang yang berkewajiban membina anak secara alamiah adalah orang tua, warga masyarakat, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

Kedua, pendidik dalam arti sempit, yaitu: orang-orang yang dipersiapkan dengan sengaja untuk menjadi seorang pendidik, baik itu guru maupun dosen. Jenis kedua ini dengan sengaja diberikan materi-materi tentang pendidikan, secara umum dan mendidik secara khususnya, dalam waktu yang relatif lama, agar mereka menguasai ilmu tersebut dan terampil dalam pelaksanaannya di lapangan.

2.10.1    Pengertian Profesionalisasi Guru

Menurut Sudarwan Danim, profesionalisasi mengandung makna dua dimensi, yakni peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis. Jadi, profesionalisasi adalah suatu proses seorang penyandang profesi dalam rangka untuk menjadi seorang yang profesional, dan pada akhirnya dia ingin menjadi seorang yang profesionalisme.

Selain itu juga, dalam UU No. 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.

Guru memiliki banyak tugas, apabila dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yaitu dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan, dan dalam bidang kemasyarakatan.

2.10.2    Ciri-ciri Guru yang Profesional

Beberapa kemampuan profesional yang harus dimiliki seorang guru, sebagai berikut: 1) Memiliki kemampuan dalam penguasaan materi atau bahan pelajaran; 2) Memiliki kemampuan perencanaan program proses belajar-mengajar di kelas; 3) Memiliki kemampuan dalam pengelolaan program belajar-mengajar; 4) Memiliki kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar; 5) Memiliki kemampuan penggunaan media sumber pembelajaran; 6) Memiliki kemampuan pelaksanaan evaluasi dan penilaian prestasi peserta didik; 7) Memiliki kemampuan program bimbingan dan penyuluhan; 8) Memiliki kemampuan dalam pelaksanaan diagnosis kesulitan belajar peserta didik; dan 9) Memiliki kemampuan pelaksanaan administrasi kurikulum atau administrasi guru.

2.10.3    Alasan Guru harus Profesional

Ada beberapa alasan guru harus bersifat profesional dalam proses belajar mengajar, di antaranya:

Pertama, meningkatkan mutu pendidikan. Mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen atau pelanggan.

Kedua, perkembangan teknologi informasi. Dalam rangka meningkatkan profesional guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.

Ketiga, otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Kini, paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak adanya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik.

Keempat, berkenaan dengan kesejahteraan, penghargaan pada profesinya, kesempatan untuk meningkatkan profesinya, jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugasnya, dan lain sebagainya dalam profesinya sebagai guru.

2.10.4    Kode Etik Guru

Kode etik guru Indonesia dirumuskan sebagai kumpulan nilai-nilai dan norma-norma profesi guru yang tersusun secara sistematis dalam suatu sistem yang bulat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk yang harus diikuti oleh para anggota profesi dan menjauhi larangan-larangan, baik dalam perilaku di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat. Karena yang namanya guru, dimanapun berada adalah tetap sebagai seorang guru. Artinya, aspek kewibawaan seorang guru sangan berimplikasi pada dirinya, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karena itu, dia harus menjaga wibawa tersebut, dengan perilaku yang mulia, perkataan yang santun, dan lain sebagainya.

2.11Demokrasi Pendidikan

Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu: demos, berarti rakyat atau penduduk, certain, atau cratos, berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi adalah keadaan negara dalam sistem pemerintahannya. Kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasan oleh rakyat. Pendidikan adalah proses yang berisi berbagai masa kegiatan yang sesuai dengan kegiatan seseorang untuk kehidupan sosialnya dan membantunya meneruskan kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.

2.11.1    Pengertian Demokrasi Pendidikan

Demokrasi pendidikan adalah pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia, individualistis, dan kebebasan, perbedaan dan keberagaman, dan persamaan hak dalam dunia  pendidikan.

Demokrasi pendidikan dalam pengertian yang lebih luas (Fuad Ihsan, 2001:163-165), mengandung tiga hal, yaitu:

  1. Rasa hormat terhadap sesama manusia;
  2. Setiap manusia memiliki perubahan ke arah pikiran yang sehat.
  3. Rela berbakti untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.

2.11.2    Demokrasi Pendidikan di Indonesia

Sebenarnya bangsa Indonesia telah menganut dan mengembangkan asas demokrasi dalam pendidikan sejak di proklamasikannya kemerdekaan sehingga masa pembangunan sekarang ini.

Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajarang” dan “pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang”.

Dan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang terdapat pada pasal 5 dan 6, yang berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (ayat1), mulai dari usia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (pasal 6 ayat 1); 2) Warga negara yang memiliki kelainan dan kelebihan fisik, psikis, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 2-4); dan 3) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan dalam meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (ayat 5).

2.11.3    Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Pendidikan

Dalam setiap pelaksanaan pendidikan selalu terkait dengan masalah-masalah, antara lain: 1) Hak asasi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan; 2) Kesempatan yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan; dan 3) Hak dan kesempatan atas dasar kemampuan mereka.

Dari prinsip-prinsip di atas, dapat dipahami bahwa ide dan nilai demokrasi pendidikan itu sangat banyak dipengaruhi oleh alam pikiran, sifat, dan jenis masyarakat dimana mereka berada. Karena dalam kenyataannya bahwa pengembangan demokrasi pendidikan dan penghidupan masyarakat, misalnya masyarakat pedesaan akan sangat berbeda dengan masyarakat perkotaan, dan lain sebagainya.

2.11.4    Kepemimpinan Demokrasi Pendidikan

Secara umum, kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakan dan kalau perlu memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu, selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.

Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka berbuat sesuatu, kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut untuk memainkan peranan sebagai juru tafsir atau  pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan cita-cita atau tujuan-tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu.

Sedangkan kepemimpinan pendidikan merupakan kemampuan untuk menggerakan pelaksanaan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian ini sejalan dengan filosofi kepemimpinan yang pada pokoknya menjunjung tinggi asas hubungan kemanusiaan.

BAB III

PEMBAHASAN

 

3.1    Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MPMBS/M)

3.1.1   Pendahuluan

Manajemen mutu dalam konteks pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah cara atau metode meningkatkan performansi secara terus menerus pada hasil atau proses di sebuah lembaga pendidikan dengan mendayagunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia.

Mutu yang dapat ditingkatkan dalam pendidikan adalah meliputi input, proses, output pendidikan. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud, berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumber daya meliputi: sumber daya manusia (kepala sekolah, guru, konselor, karyawan, dan peserta didik) dan sumber daya lainnya (peralatan, perlengkapan, uang, dan sebagainya). Input perangkat meliputi: struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana atau program, dan sebagainya.

Input harapan-harapan berupa: visi, misi, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Dengan kata lain, input merupakan prasarat bagi berlangsungnya proses. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi kesiapan input, makin tinggi mutu input tersebut.

Proses pendidikan adalah mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan berskala mikro (tingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolalaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi.

Dengan catatan, bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses-proses yang lain. Proses disini dikatakan bermutu jika pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, dan seterusnya) dilakukan secara harmonis, sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang nyaman, mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Dan output pendidikan adlah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/prilaku sekolah.

Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kerjanya, dan moral kerjanya.

Unsur-unsur mutu dalam pendidikan yang dapat ditingkatkan dapat diringkas dalam tabel berikut:

Unsur-unsur Peningkatan Mutu dalam Pendidikan

Mutu dalam Pendidikan

Pengertian

Unsur

Input

Segala sesuatu yang  harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sumber Daya Manusia:Kepala sekolah, guru, konselor, karyawan, dan peserta didik.

 

Sumber Daya Lainnya:Peralatan, perlengkapan, uang, dan sebagainya
Perangkat Lembaga:Struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana atau program, dan sebagainya.
Harapan-harapan:Visi, misi, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah.

Proses

Mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses yang dimaksud adalah proses:Pengambilan keputusan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi.

Output

Sesuatu dari hasil proses disebut atau merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari:Kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas kerjanya, dan moral kerjanya.

3.1.2   Pengertian MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau MPMBS adalah sebutan atau nama lain dari Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “School Based Management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntunan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pengelolaan pendidikan, khususnya di Indonesia, yang memberikan otonomi luas kepada lembaga sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Untuk Indonesia, model baru pengelolaan sekolah ini diterapkan pada tahun 1999 di sejumlah sekolah dan madrasah rintisan dengan sebuatan MPMBS. Sedangkan untuk negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris dan Australia model pengelolaan ini sudah disosialisasikan dan diterapkan sekitar tahun 1980-an.

Dalam konteks ini, MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasi sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan) maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian.

3.1.3   Konsep Dasar MPMBS

Konsep dasar MPMBS adalah adanya otonomi dan pengambilan keputusan partisipatif. Artinya, MPMBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada tiap-tiap sekolah atau madrasah secara individual dalam menjalankan program sekolahnya dan dalam menyelesaikan masalah dan dalam  pengambilan keputusan harus melibatkan partisipasi setiap konstituen sekolah, seperti siswa, guru, tenaga administrasi, orang tua, masyarakat lingkungan dan para tokoh masyarakat. Oleh karena itu, esensi MPMBS = otonomi sekolah + pengambilan keputusan partisipasif untuk mencapai sasaran mutu sekolah.

Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolak ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan  perkembangan sekolah.

Dari pengertian diatas, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar yang lebih besar dari kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayanan sekolah dalam pengelolaan peningkatan mutu.

3.1.4   Karakteristik MPMBS

MPMBS/M memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MPMB/M, maka sejumlah karakteristik MPMBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses, dan output.

Dalam menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu  input, proses, output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem sehingga penguraian karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan kepada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat lebih rendah dari output.

  1. a.    Output yang Diharapkan

Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic, achivement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievment). Output prestasi akademi misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/divergan, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri kejujuran, kerja sama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, dan kesenian.

  1. b.   Proses

Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut:

1)        Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi

Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belejar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

2)        Kepemimpinan Sekolah yang Kuat

Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpian Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, dan tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.

Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya sekolah, terutama sumber daya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.

3)        Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib

Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting.

4)        Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif

Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MPMBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Intinya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.

5)        Sekolah Memiliki Budaya Mutu

Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah sehingga setiap prilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: a) Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang: b) Kewenangan harus sebatas tanggung jawab; c) Hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); d) Kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerja sama; e) Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; f) Atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; g) Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan; dan h) Warga sekolah merasa memiliki sekolah.

6)        Sekolah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis

Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MPMBS karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerja sama antarfungsi dalam sekolah, antarindividu dalam sekolah, harus  merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.

7)        Sekolah Memiliki Kewenangan (Kemandirian)

Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehinggga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.

8)        Partisipasi yang Tinggi dari Warga dan Masyarakat

Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini di landasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa memiliki, makin besar rasa tanggung  jawab, dan makin besar pula tingkat dedikasinya.

9)        Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen

Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS, keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat kontrol.

10)    Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (Psikologis dan Pisik)

Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.

11)    Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan

Evaluasi hasil belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah.

12)    Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan

Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntunan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.

13)    Memiliki Komunikasi yang Baik

Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik terutama antarwarga sekolah, dan juga sekolah masyarakat sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh tiap-tiap warga sekolah dapat diketahui.

14)    Sekolah Memiliki Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapaikan dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat.

15)    Sekolah Memiliki Kemampuan Manajemen Sustainabilitas

Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainbilitasnya), baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainbilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum perada ada sebelumnya.

  1. c.    Input Pendidikan
  2. 1.    Memiliki Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Mutu yang Jelas

Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah.

  1. 2.    Sumber Daya Tersedia dan Siap

Sumber daya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumber daya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumber daya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (uang peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumber daya selebihnya tidak mempunyai arti apa pun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumber daya manusia.

  1. 3.    Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi

Sekolah  yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi maka kepemilikian staf yang kompeten dan berdedikasi  tinggi merupakan keharusan.

  1. 4.    Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi

Sekolah yang menerapkan MPMBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal.

  1. 5.    Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)

Pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang kerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.

  1. 6.    Input Manajemen

Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manjamen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif.

3.1.5   Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah

Departemen Pendidikan Nasional merumuskan 9 hal yang dapat didesentralisasikan ke sekolah, yaitu:

  1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah.
  2. Pengolaan kurikulum. Sekolah dapat mengambangkan, namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah pusat.
  3. Pengelolaan proses belajar mengajar. Sekolah diberi kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru dan kondisi sumber daya yang tersedia di sekolah.
  4. Pengelolaan ketenagaan. Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sanksi, bubungan kerja hingga evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah dapat dilakukan oleh sekolah kecuali guru pegawai negeri yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
  5. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan. Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan hingga pengembangannya.
  6. Pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah.
  7. Pelayanan siswa. Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia  kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah didesentralisasikan.
  8. Hubungan sekolah dan masyarakat. Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikian dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial yang dari dulu telah didesentralisasikan.
  9. Pengelolaan iklim sekolah. Ikli sekolah yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa.

3.1.6   Tujuan dan Manfaat MPMBS

Penerapan pengelolaan pendidikan dengan model MPMBS/M bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi terutama diperolah dari keleluasaan yang diberikan untuk mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.

Di antara manfaat model MPMB/M adalah memeberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah, yang tentu saja disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Secara terperinci tujuan penerapan MPMB/M dapat dijabarkan sebagai berikut : (www.pakguruonline.net)

  1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
  2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
  3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
  4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

3.1.7   Strategi Pelaksanaan MPMBS

Strategi pelaksanaan atau implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah akan tercapai dengan baik jika didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dalam mengelola dan mengoperasionalkan sekolah; dana yang cukup, sarana-prasarana yang memadai dan dukungan masyarakat (orang tua) yang tinggi. Tahapan-tahapan pelaksanaan MPMBS/M adalah sebagai berikut:

  1. Mensosialisasikan Konsep MPMBS
  2. Melakukan Analisis Situasi Sasaran (Output)
  3. Merumuskan Sasaran yang Hendak Dicapai
  4. Menyusun Rencana Peningkatan Mutu
  5. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
  6. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan

3.2    Kepala Sekolah/Madrasah sebagai Pimpinan Pendidikan

Kepala sekolah/madrasah dalam satuan pendidikan merupakan pemimpin. Ia mempunyai dua jabatan dan peran penting dalam melaksanakan proses pendidikan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan disekolah. Kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya.

Sebagai pengelola pendidikan, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah seluruh substansinya.

Sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya menggerakan para bawahan ke arah pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan setidaknya harus memiliki kompetensi dasar menajerial, yaitu:

  1. 1.    Keterampilan Teknis

Keterampilan yang berhubungan dengan  pengetahuan, metode dan teknik-teknik tertentu dalam menyelesaikan suatu tugas-tugas tertentu. Dalam praktiknya, keterlibatan seorang pemimpin dalam setiap bentuk technical skill disesuaikan dengan status/tingkatan pemimpin itu sendiri.

  1. 2.    Keterampilan Manusiawi

Keterampilan yang menunjukkan kemampuan seorang pemimpin di dalam bekerja melalui orang lain secara efektif, dan untuk membina kerjasama.

  1. 3.    Keterampilan Konseptual

Keterampilan terakhir ini menunjukkan kemampuan dalam berpikir, seperti menganalisa suatu masalah, memutuskan dan memecahkan masalah tersebut dengan baik.

3.2.1   Standar Kepala Sekolah/Madrasah

Untuk dapat diangkat sebagai kepala sekolah/madrasah, seseorang wajib memenuhi standar kepala sekolah/madrasah yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Standar Kepala Sekolah/Madrasah terdiri dari standar kualifikasi dan standar kompetensi.

  1. 1.    Standar Kualifikasi Kepala Madrasah

Standar Kualifikasi Kepala Sekolah/Madrasah terdiri atas Kualifikasi Umum, dan Kualifikasi Khusus.

a)    Kualifikasi Umum Kepala Sekolah/Madrasah adalah sebagai berikut:

–       Memiliki kualifikasi akademik sajana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi;

–       Pada waktu diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun;

–       Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 tahun; dan

–       Memiliki pangkat serendah-rendahnya III/c bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi non-PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang.

b)   Kualifikasi Khusus Kepala Sekolah/Madrasah adalah sebagai berikut:

Kepala Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) adalah sebagai berikut:

  1. Berstatus sebagai guru TK/RA;
  2. Memiliki sertifikat pendidik sebagai guru TK/RA; dan
  3. Memiliki sertifikat kepala TK/RA yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan Pemerintah.

Kepala Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah sebagi berikut:

  1. Berstatus sebagai guru SD/MI;
  2. Memiliki sertifikat Pendidik sebagai guru SD/MI; dan
  3. Memiliki sertifikat kepala SD/MI yang diterbitkan oleh lembaga yang di tetapkan Pemerintah.

Kepala Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tswanawiyah (SMP/MTS) adalah sebagai berikut:

  1. Berstatus sebagai guru SMP/MTs;
  2. Memiliki sertifikat pendidik sebagai guru SMP/MTs;dan
  3. Memiliki sertifikat kepala SMP/MTs yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan Pemerintah.

Kepala Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut:

  1. Berstatus sebagai guru SMA/MA;
  2. Memiliki sertifat pendidik sebagai guru SMA/MA; dan
  3. Memiliki sertifikat kepala SMA/MA yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan Pemerintah.
  4. 2.    Standar Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah

Standar Kompetensi terdiri dari kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.

3.3    Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik dan mental, serta pendidikan dalam jabatan. Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

3.3.1   Kualifaksi Akademik Guru

Kualifikasi Akademik Guru Melalui Pendidikan Formal

Kualifikasi akademik guru pada satuan pendidikan jalur formal mencakup kualifikasi akademik guru Pendidikan Anak Usia Dini/Taman Kanak-kanak/Raudlatul Athfal (PAUD/TK/RA), guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), guru Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), guru Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), guru Sekolah Dasar Luar Biasa/Sekolah Menengah Luar Biasa/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SDLB/SMPLB/SMALB), dan guru Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK), sebagai berikut.

Kualifikasi Akademik Guru PAUD/TK/RA

Guru pada PAUD/TK/RA harus memiliki kulifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarja (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

Kualifikasi Akademik Guru SD/MI

Guru pada SD/Mi, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarja (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

Kualifikasi Akademik Guru SMP/MTs

Guru pada SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

Kualifikasi Akademik Guru SMA/MA

Guru pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

Kualifikasi Akademik Guru SDLB/SMPLB/SMALB

Guru pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

Kualifikasi Akademik Guru SMK/MAK

Guru pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

Kualifikasi Akademik Guru Melalui Uji Kelayakan dan Kesetaraan

Kualifikasi akademik yang dipersyaratkan untuk dapat diangkat sebagai guru dalam bidang-bidang khusus yang sangat diperlukan tetapi belum dikembangkan di perguruan tinggi dapat diperoleh melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Uji kelayakan dan kesetaraan bagi seorang yang memiliki keahlian tanpa ijazah dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi wewenang untuk melaksanakan.

3.3.2   Standar Kompetensi Guru

Standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/TKA/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Berikut ini ditampilkan standar kompetensi guru-guru mata pelajaran di SD/MI, SMA/MA, dan SMK/MAK sebagaimana diatur dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.

3.4    Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang meliputi peralatan dan perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, seperti gedung, ruangan, meja, kursi, alat peraga, dan buku pelajaran. Sedangkan prasarana adalah semua komponen yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses belajar mengajar di sebuah lembaga pendidikan, seperti jalan menuju sekolah, halaman sekolah, dan tata tertib sekolah.

Standar saranan dan prasarana dalam sisitem pendidikan nasional adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat olah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan sumber belajar yang lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, temasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Standar sarana dan prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana. Pada pasal 2 peraturan menteri disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan bagi satu kelompok pemukiman permanen dan terpencil yang penduduknya kurang dari 1000 jiwa dan yang tidak bisa dihubungkan dengan kelompok yang lain dalam jarak tempuh 3 kilo meter melalui lintasan jalan kaki yang tidak membahayakan dapat menyimpangi standar sarana dan prasarana ini.

3.5    Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum

3.5.1   Kerangka Dasar Kurikulum

  1. 1.    Kelompok Mata Pelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:

  1. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
  2. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
  3. Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berprilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri. Dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, membentuk kompetensi, kecakapan, dan kemandirian kerja.
  4. Kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan kemampuan mengapresiasikan keindahan dan harmoni.
  5. Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan; kelompok mata pelajaran ini untuk meningkatkan potensi fisik serta menanamkan sportivitas dan kesadaran hidup sehat. Budaya hidup sehat termasuk kesadaran, sikap, dan perilaku hidup sehat yang bersifat individual atau pun yang bersifat kolektif kemasyarakatan, seperti keterbebasan dari perilaku seksual bebas, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, demam berdarah, muntaber, dan penyakit lain yang potensial untuk mewabah.
  6. 2.    Prinsip Pengembangan Kurikulum

Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar serta  panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut.

  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

  1. Beragam dan terpadu.

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya, dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.

  1. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

  1. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.

Pengembangan kurikulum ini dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja.

  1. Menyeluruh dan berkesinambungan.

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.

  1. Belajar sepanjang hayat.

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

  1. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  1. 3.    Prinsip Pelaksanaan Kurikulum

Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan  pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.

  1. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
  2. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakka kelima pilar belajar, yaitu: a) berlajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b) Belajar untuk memahami dan menghayati, c) Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, d) Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi  orang lain, dan e) Belajar untuk membangung dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangka.
  3. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
  4. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan).
  5. Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakaan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).
  6. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
  7. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.

3.5.2   Struktur Kurikulum Pendidikan Umum

Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

3.5.3   Struktur Kurikulum Pendidikan Kejuruan

Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan kahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang-bidang keahlian dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan mengembangkan diri.

Mata pelajaran wajib terdiri atas Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, dan Keterampilan/Kejuruan. Mata pelajaran ini bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam spektrum manusia kerja.

Mata pelajaran kejuruan terdiri atas beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan menyesuaikan diri dan bidang keahliannya.

Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas, potensi daerah, dan prospek pengembangan daerah termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan sesuai dengan program keahlian yang diselenggarakan.

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.

3.5.4   Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus

Struktur kurikulum dikembangkan untuk peserta didik berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berdasarkan standar kompetensi lulusan, standar kompetensi kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi mata pelajaran. Peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual dibawah rata-rata, dan peserta didik berkelainan disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata.

Kurikulum pendidikan khusus terdiri atas delapan sampai sepuluh mata pelajaran, muatan lokal, program khusus, dan pengembangan diri.

3.6    Pelaksanaan Proses Pembelajaran

3.6.1   Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran

  1. Rombongan Belajar

Jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan belajar adalah:

  1. SD/MI                    : 28 peserta didik
  2. SMP/MTs               : 32 peserta didik
  3. SMA/MA               : 32 peserta didik
  4. SMK/MAK                        : 32 peserta didik
  5. Beban kerja minimal guru
    1. Beban kerja minimal guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan;
    2. Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dalam satu minggu.
  6. Buku teks pelajaran
    1. Buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh sekolah/madrasah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;
    2. Selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku pengayaan, buku referensi dan sumber belajar lainnya;
    3. Rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah 1 : 1 per mata pelajaran;
    4. Guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di perpustakaan sekolah/madrasah.
  1. Pengelolaan kelas
    1. Guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;
    2. Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik;
    3. Tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;
    4. Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar peserta didik;
    5. Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan keputusan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;
    6. Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelejaran berlangsung;
    7. Guru menghargai pendapat peserta didik;
    8. Guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;
    9. Pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang diampunya; dan
    10. Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.

3.6.2   Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

  1. Kegiatan Pendahuluan, dalam kegiatan pendahuluan, guru:
    1. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
    2. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang ada dipelajari;
    3. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;
    4. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
  2. Kegiatan Inti

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian seusai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

  1. Eksplorasi; dalam kegiatan eksplorasi, guru:
    1. Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;
    2. Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;
    3. Memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
    4. Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
    5. Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
    6. Elaborasi; dalam kegiatan elaborasi, guru:
      1. Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;
      2. Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru, baik secara lisam maupun tertulis;
      3. Memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;
      4. Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaborasi;
      5. Memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;
      6. Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan, baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
      7. Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan kreasi; kerja individual maupun kelompok;
      8. Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;
      9. Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik.
      10. Konfirmasi; dalam kegiatan konfirmasi, guru:
        1. Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
        2. Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber,
        3. Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,
        4. Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetesi dasar:
          1. Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
          2. Membantu menyelesaikan masalah;
          3. Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;
          4. Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;
          5. Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
          6. Kegiatan Penutup, dalam kegiatan penutup, guru:
            1. Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;
            2. Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;
            3. Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;
            4. Merencanakan kegiatan tindak lnjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas, baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;
            5. Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

3.6.3   Penilaian Hasil Pembelajaran

Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.

Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilain diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.

3.6.4   Pengawasan Proses Pembelajaran

  1. 1.    Pemantauan
  2. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.
  3. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi.
  4. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
  5. 2.    Supervisi
  6. Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.
  7. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi.
  8. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.
  9. 3.    Evaluasi
  10. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.
  11. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara:

–       Membandingkan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan standar proses.

–       Mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan kompetensi guru.

  1. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran.
  2. 4.    Pelaporan

Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan.

  1. 5.    Tindak Lanjut
  2. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar.
  3. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar.
  4. Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan/penataran lebih lanjut.

BAB IV

PENUTUP

 

4.1    Kesimpulan

Penerapan pengelolaan pendidikan dengan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS/M) meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.

Peningkatan efisiensi terutama diperoleh dari keleluasaan yang diberikan untuk mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederahanaan birokrasi. Kemudian, peningkatan mutu dapat diperolah, antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem intensif serta disintesif. Sedangkan peningkatan pemerataan bisa diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih bisa berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.

Di antara manfaat model MPMBS/M adalah memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah, yang tentu saja disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Pemberian otonomi kepada sekolah mengindikasikan sebuah tanggung jawab pengelolaan sumber daya pengembangan dan strategi peningkatan mutu yang sesuai dengan kondisi setempat. Dengan pola ini juga, sekolah/madrasah dapat lebih memperhatikan kesejahteraan guru, sehingga ia lebih dapat berkonsentrasi pada tugas dan bertanggung jawab terhadap tugas yang dibebankan kepadanya.

Pemberian kesempatan kepada sekolah/guru untuk menyusun kurikulum; guru dituntut bahkan didorong untuk berinovasi, dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Melalui penyusunan kurikulum efektif, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat sekolah.

4.2    Tindak Lanjut

Menindak lanjuti pola Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah, harus mempunyai kepemimpinan visioner (visionary leadership) merupakan sebuah model atau pola kepemimpinan yang dimaksudkan memberi arti pada kerja dan usaha yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen dengan cara memberi arahan berdasarkan visi yang dibuat secara jelas.

Kemudian lebih di titik beratkan kepada kepala sekolah sebagai pemimpin formal, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pendidikan melalui upaya menggerakkan para bawahannya ke arah tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Dalam hal ini kepala sekolah bertugas melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, baik fungsi yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pendidikan maupun penciptaan iklim dan budaya sekolah yang kondutif bagi terlaksananya proses belajar mengajar secara efektif, efisien, dan produktif.

DAFTAR PUSTAKA

 

Burhanudin. 1994. Analisa Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Mizan.

Depdiknas. 2007. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Fasli Jalal dan Supriadi, Dedi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Hidayat, Ara dkk. 2010. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Pustaka Educa.

Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implikasinya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Ruswandi, Uus dkk. 2009. Landasan Pendidikan. Bandung: CV. Insan Mandiri.

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang

Pelaksanaan pemerintahan Indonesia mengalami dinamika yang unik, pada awal kemerdekaan Indonesia sempat menerapkan Sistem Parlementer namun perseteruan politik telah mengakibatkan kegagalan kabinet untuk dapat bekerja dengan baik, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang antara lain menyatakan kembali ke UUD 1945.

Sistem pemerintahan Indonesia kembali ke presidensial dalam prakteknya, baik pada masa Soekarno maupun Soeharto presiden menguasai panggung politik Indonesia, amandemen UUD 1945 yang dilakukan diera reformasi diharapkan mampu menerapkan kedudukan legislatif dan eksekutif secara propesional,  berikut ini dapat dilihat perbandingan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia sebelum dan sesudah dilaksanakan amandemen UUD 1945 dan lahirnya UU RI No 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan tertinggi  MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Pada era reformasi sekarang ini, kekuasaan tertinggi tidaklah tertumpu di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances).

Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan oleh rakyat melalui pemilihan umum. Masa jabatannyapun dibatasi hanya untuk dua periode saja. Adanya pemilihan langsung dalam memilih pimpinan negara, maka kedaulatan rakyat menjadi sangat penting  dan menentukan masa depan bangsa negara Indonesia. Presiden tidak akan bertindak sewenang-wenang, karena ada lembaga perwakilan rakyat yang ikut memantau jalannya pemerintahan, yaitu DPR.

Dengan adanya perubahan ini aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.

1.2     Tujuan

  1. Menguraikan lebih jelas mengenai Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI;
  2. Mengaanalisa Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan dari awal                 kemerdekaan negara Indonesia sampai sekarang;
  3. Membandingkan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945.

BAB II

ANALISIS TEORI

 

2.1    Pengertian Sistem

Sebelum penulis menjelaskan tentang Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI ini, penulis ingin menjelaskan sedikit pengertian sistem menurut para ahli, agar pembaca lebih memahami apa itu yang disebut dengan sistem, kemudian bagaimana cara menerapkan sistem di negara kita.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia sistem di artikan sebagai susunan kesatuan-kesatuan yang masing-masing tidak berdiri sendiri, tetapi berfungsi membentuk kesatuan secara keseluruhan.

Pengertian sistem menurut para ahli:

  1. Prajudi

Sistem adalah suatu jaringan prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakan suatu fungsi utama dari suatu usaha atau urusan-urusan.

  1. Pamudji

Sistem adalah suatu keseluruhan yang komplek atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau utuh.

  1. Musanef

Sistem adalah suatu sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam menjalankan tugas dapat teratur.

  1. W.J.S. Poerwadarminta

Sistem adalah sekelompok bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud.

  1. Sumantri

Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk suatu maksud. Apabila suatu bagian tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud tersebut akan terhambat.[1]

2.2    Pemerintahan dan Pemerintah

2.2.1   Pengertian Pemerintahan dan Pemerintah

Pemerintahan menurut Kooiman merupakan proses interaksi antara berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok atau berbagai individu masyarakat.

Oleh sebab itu, pola penyelenggaraan pemerintahan ini pada intinya merupakan proses koordinasi, pengendalian, pemengaruhan dan penyeimbangan setiap hubungan interaksi tersebut.

Dalam bahasa Inggris, govern (memerintah), sebagai kata kerja, berasal dari kata latin gubernare atau kybernan yang artinya mengemudikan (sebuah kapal), sedangkan kata bendanya adalah governance (Latin gubernantia), menunjukkan metode atau sistem pengemudian atau menejemen organisasi. Kata kerja govern digunakan dalam bidang politik, yang kata bendanya menjadi government. Dewasa ini, ada kecenderungan mengembalikan makna pemerintahan dari government ke govermance dalam arti yang luas lagi. Menurut kamus, istilah government dapat diartikan pemerintah dan dapat juga diartikan pemerintahan.[2]

Di sisi lain, makna pemerintahan ada dua, yaitu pemerintahan negara dalam arti sempit terdiri dari dari presiden, wakil presiden, dan kabinet (dewan menteri). Pemerintahan negara dalam arti luas adalah gabungan alat-alat kelengkapan negara, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selengkapnya, pengeritan pemerintah secara terminologis, yaitu:

  1. Pemerintah dalam arti terluas adalah semua lembaga negara sebagaimana diatur dalam UUD suatu negara;
  2. Pemerintah dalam arti luas ialah semua lembaga negara yang oleh konstitusi negara yang bersangkutan disebut sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Di Indonesia, kedudukannya berada di bawah UUD 1945. Kekuasaan pemerintahan meliputi fungsi legislatif dan fungsi eksekutif;
  3. Pemerintah dalam arti sempit ialah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif saja;
  4. Pemerintah dalam arti tersempit ialah lembaga negara yang memegang fungsi birokrasi. Birokrasi adalah aparat pemerintah yang diangkat atau ditunjuk dan bukan yang dipilih atau terpilih melalui pemilihan oleh lembaga perwakilan;
  5. Pemerintah dalam konsep pemerintahan pusat, yaitu penggunaan kekuasaan negara pada tingkat pusat (tertinggi) yang pada umumnya dihadapkan dengan konsep pemerintah daerah;
  6. Pemerintah dalam konsep pemerintah wilayah, Pemerintah dalam arti ini dikenal dalam negara yang menggunakan asas dekonsentrasi dan desentralisasi, misalnya diatur oleh UU nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah. Kekuasaan (urusan) pusat di daerah dikelola oleh pemerintah wilayah.

2.2.2   Tujuan Pemerintahan Negara Indonesia

Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[3] Lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.

2.3    Sistem Pemerintahan Negara Indonesia

Pada dasarnya sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu sistem pemerintahan (sistem kabinet) Presidensial dan sistem pemerintahan Parlementer. Namun demikian, ada pula negara yang menganut sistem pemerintahan campuran,  yaitu suatu suatu sistem pemerintahan yang mengandung ciri-ciri Presidensial dan mengandung ciri-ciri parlementer.

Sistem pemerintahan Presidensial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Presiden, di samping mempunyai kekuasaan nominal (sebagai kepala negara) juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan diatur antara lain dalam pasal 4 ayat 1. Sedangkan sebagai kepala negara diatur dalam pasal 10-15.
  2. Masa jabatan Presiden dan pemegang kekuasaan legislatif dipilih untuk masa jabatan yang tetap. Ciri ini sesuai dengan bunyi pasal 7 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
  3. Presiden dibantu oleh  menteri-menteri negara yang diangkat dan bertanggung jawab kepadanya, yang diatur dalam pasal 17.
  4. Presiden dan para Menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen/DPR.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut dan diperkuat oleh ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945, maka dapat disimpulkan bahwa negara Republik Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan Presidensial adalah Presiden memegang kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Namun demikian dalam menjalankan tugas-tugas tersebut Presiden dibantu oleh seorang wakil Presiden dan beberapa Menteri. Perlu diingat bahwa wakil Presiden dan para menteri hanya sebagai pembantu Presiden, yang harus tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Sebagai landasan Konstitusional bahwa negara Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial yaitu antara lain:

  1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Hal ini mengandung arti bahwa Presiden Republik Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memegang kekuasaan pemerintah. Dalam melaksanakan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang
  2. Pasal 17 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
    1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara,
    2. Menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
    3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan,
    4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Pada masa awal kemerdekaan, ketentuan-ketentuan yang dinamakan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya lembaga-lembaga negara seperti yang dikehendaki dalam UUD 1945. Pada masa itu belum ada lembaga-lembaga negara yang berhubungan langsung dengan Presiden, seperti MPR, DPR, dan DPA.

Untuk menjalankan pemerintahan negara sebagaimana mestinya maka digunakanlah ketentuan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan sebuah komite nasional.

Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa kekuasaan Presiden sangat luas, yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif bahkan berwenang melaksanakan tugas-tugas MPR. Pada masa itu kekuasaan Presiden seolah-olah “diktator” karena tidak ada lembaga negara lain yang mengimbangi kekuasaan Presiden.

Komite Nasional Indonesia Pusat yang dipilih tanggal 29 Agustus 1945 berkedudukan hanya sebagai pembantu Presiden. Hal ini berarti KNIP tidak dapat mengekang kekuasaan Presiden dan tidak dapat melaksanakan tugas-tugas DPR atau MPR. Demikian pula wakil Presiden (yang dipilih tanggal 18 Agustus 1945), dan para Menteri (yang dilantik 2 September 1945) semuanya berkedudukan sebagai pembantu Presiden.

Untuk mengurangi kekuasaan Presiden yang sangat luas tersebut, pada tanggal 16 Oktober 1945 wakil Presiden atas usul KNIP mengeluarkan maklumat nomor X yang menetapkan bahwa: “Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN”. Selain itu, maklumat juga menentukan bahwa KNIP, berhubungan dengan gentingnya keadaan mendelegasikan kekuasaannya kepada sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada KNIP.

Dengan keluarnya maklumat tersebut, maka kedudukan KNIP yang asalnya sebagai pembantu Presiden berdasarkan pasal IV aturan peralihan berubah menjadi lembaga legislatif dan bahkan mempunyai wewenang untuk ikut menetapkan GBHN. Hal ini berarti KNIP merupakan “partner” Presiden dalam menetapkan Undang-Undang dan GBHN. Sebaliknya, dengan keluarnya maklumat wakil Presiden No. X, kekuasaan Presiden yang sangat luas itu menjadi berkurang.

Pada tanggal 11 November 1945, Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden supaya adanya sistem pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen yaitu KNIP, dengan alasan antara lain untuk memberlakukan kedaulatan rakyat. Usul Badan Pekerja tersebut diterima baik oleh Presiden.

Dengan diterimanya sistem pertanggungjawaban Menteri kepada KNIP oleh Presiden, maka pada tanggal 14 November 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang menetapkan bahwa kabinet presidensial di bawah pimpinan Presiden Soekarno meletakan jabatan dan diganti oleh kabinet baru dengan Sultan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Oleh karena itu, menteri-menteri menjadi anggota dari kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri dan tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden.

Pada tanggal 20 Oktober 1945, BPKNIP menjelaskan kedudukannya, kewajibannya, dan hak-haknya sebagai berikut:

  1. Turut menetapkan GBHN. Ini berarti, bahwa Badan Pekerja, bersama-sama dengan Presiden menetapkan GBHN. Badan Pekerja tidak berhak turut campur dalam kebijaksanaan pemerintah sehari-hari. Ini tetap di tangan Presiden semata-mata.
  2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden suatu Undang-Undang mengenai segala macam urusan pemerintahan. Yang menjalankan Undang-Undang ini adalah pemerintah, artinya Presiden dibantu oleh menteri-menteri dan pegawai-pegawai di bawahnya.

Dengan demikian, sejak tanggal 14 November 1945 sistem permerintahan Presidensial diganti dengan sistem pemerintah parlementer. Sistem Pemerintahan Parlementer pada masa itu ternyata tidak berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh situasi politik dalam negeri dan keselamatan negara terancam, sehingga memaksa Presiden untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan.

Pengambil alihan pemerintahan oleh Presiden terjadi beberapa kali antara lain:

Pertama, ketika Perdana Menteri Sultan Sjahrir diculik, maka kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh Presiden atas dasar Maklumat Presiden No.1 tahun 1946. Maklumat tersebut berlaku sampai tanggal 2 Oktober 1946 karena keadaan negara sudah normal kembali. Kemudian pemerintahan diserahkan kepada Perdana Menteri atas dasar Maklumat Presiden No. 2 tahun 1946.

Kedua, terjadi pada tanggal 27 Juni 1947 ketika adanya rencana Jenderal Spoor mengadakan serangan umum terhadap negara kita. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh Presiden atas dasar Maklumat Presiden No. 6/1947 tanggal 3 Juli 1947.

Ketiga, ketika PKI yang dipimpin oleh Muso mengadakan pemberontakan di Madiun. Atas UU No. 30/1948, Presiden mengambil alih kekuasaan pemerintahan selama 3 bulan mulai 15 September 1948.

Mengingat suhu politik yang semakin memanas pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali ke demokrasi terpimpin sebagai berikut:

  1. Demokrasi terpemimpin bukanlah diktator, berlainan dengan demokrasi sentralisme dan berbeda pula dengan demokrasi liberal yang kita praktekan selama ini.
  2. Demokrasi terpemimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia
  3. Demokrasi terpemimpin adalah demokrasi disegala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi bidang-bidang politik dan sosial.
  4. Inti dari pimpinan dalam demokrasi pemimpin adalah permusyawaratan yang “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra”.
  5. Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam demokrasi terpimpin.
  6. Demokrasi terpimpin adalah alat, bukan tujuan.
  7. Tujuan melaksanakan demokrasi terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materil dan spirituil, sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
  8. Sebagai alat, demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu.[4]

2.3.1   Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.

Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.

  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat);
  2. Sistem Konstitusional;
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
  6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat;
  7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem Pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hampir semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itu tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang Demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang Konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada Konstitusi.

Pemerintah Konstitusional bercirikan bahwa Konstitusi negara itu berisi:

  1. Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
  2. Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.

2.3.2   Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen.

Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip Otonomi Daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi;
  2. Bentuk pemerintahan adalah Republik, sedangkan Sistem Pemerintahan Presidensial;
  3. Presiden adalah Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan;
  4. Kabinet atau Menteri diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden;
  5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan;
  6. Kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem Pemerintahan Parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam Sistem Presidensial.

Beberapa pariasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan megawasi Presiden meskipun secara tidak langsung;
  2. Presiden dalam mengangkat Pejabat Negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR;
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR;
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem Pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki Sistem Presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.[5]

2.4    Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara

Salah satu muatan paling penting dari suatu Undang-Undang Dasar (konstitusi) adalah bagaimana penyelenggaraan Kekuasaan Negara itu dijalankan oleh organ-organ negara. Organ atau Lembaga Negara merupakan subsistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menyangkut mekanisme dan tata kerja antar organ-organ negara itu sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menggambarkan secara utuh mekanisme kerja lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disingkat ”UUD 1945”) sebelum dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini.

Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum.

Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara Demokrasi modern.

2.4.1   Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Sebelum Perubahan UUD 1945

Penjelasan UUD 1945 menguraikan dengan jelas sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang dianut oleh Undang-Undang Dasar tersebut. Dalam penjelasan itu diuraikan tentang sistem pemerintahan negara yang terdiri dari tujuh prinsip pokok, yaitu sebagai berikut:

Prinsip negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat) dan prinsip sistem konstitusinal (berdasarkan atas konstitusi) tidak berdasar atas absolutisme. Kedua prinsip ini ditegaskan dalam bagian penjelasan Undang-Undang Dasar itu, tapi tidak tergambar dengan jelas dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan.

Prinsip negara hukum seharusnya mengandung tiga prinsip pokok, yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kekuasaan dijalankan berdasarkan atas prinsip due process of law. Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak diatur secara tegas dan rinci dalam pasal-pasal UUD 1945. Pengaturan hak asasi manusia sangat minim yaitu hanya dalam Pasal 28 dan 29 ayat 2, sedangkan Pasal 27, 30 ayat 1 dan 31 ayat 1 yang mengatur tentang hak-hak warga negara. Demikian juga dengan sistem konstitusional. Tidak tergambar dengan jelas pembatasan-pembatasan kekuasaan antara lembaga negara, bahkan memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) suatu kekuasaan yang tidak terbatas.

Prinsip selanjutnya adalah kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa kedaulatan dipegang oleh suatu badan bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD dan Garis-garis Besar Haluan Negara (pasal 3), mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Presiden (pasal 7). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris dari Majelis. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.

Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) tidak mengatur secara rinci mengenai badan negara yang “ super power” ini, terutama struktur dan susunan keanggotaannya termasuk bagaimana mekanisme pengisian anggotanya, dan hubungannya dengan badan-badan negara lainnya. Para perumus UUD 1945, nampaknya sengaja tidak mengatur secara rinci ketentuan-ketentuan UUD 1945 ini, karena pada saat itu UUD 1945 dimaksudkan sebagai Undang-Undang Dasar yang supel, dinamis dan hal-hal yang rinci diserahkan pada semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan, yaitu sesuai dengan keadaan negara baru yang dinamis. Lagi pula UUD 1945 dibuat pada saat revolusi yang terus bisa berubah.

Dalam praktek ketatanegaraan kita, badan ini pernah menetapkan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, mengangkat Presiden secara terus menerus sampai tujuh kali berturut-turut (Soeharto), dua kali memberhentikan Presiden (Soekarno dan Abdurrahman Wahid), satu kali meminta Presiden mundur (Soeharto), dan satu kali tidak memperpanjang masa jabatan Presiden (B.J. Habibie). Tidak ada suatu lembaga negara yang dapat membatasi kekuasaan dan tindakan badan ini (MPR), kecuali MPR itu sendiri yang dapat membatasi dirinya. Hanya gerakan rakyat dalam suatu revolusilah yang dapat mempengaruhi kekuasaan MPR. Itulah yang terjadi pada tahun 1966-1967 dan tahun 1998.

Siapa yang dapat menguasai MPR, ia telah menguasai kekuasaan negara, demikian juga sebaliknya. Hal ini dirasakan oleh seluruh Presiden kita selama berlakunya Undang-Undang Dasar ini. Ada Presiden yang diberi kekuasaan seumur hidup (Soekarno), hampir seumur hidup (Soeharto), Presiden yang diberhentikan dengan penuh gejolak (Soekarno dan Abdurrahman Wahid), memegang kekuasaan yang sangat pendek yaitu B.J.Habibie dan Abdurrahman Wahid.

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, badan negara yang paling mungkin dapat mempengaruhi MPR ini adalah Presiden, karena Presiden memiliki banyak kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945. Dengan dasar inilah Soerkarno pernah sangat berpengaruh terhadap MPR, karena anggota-anggota diangkat dan ditetapkan oleh Presiden. Demikian juga masa Soeharto, pernah sangat menguasai badan ini, dimana setengah dari anggota MPR diangkat oleh Presiden. Dalam kondisi yang demikian Presiden tinggal mempengaruhi anggota MPR yang berasal dari DPR yaitu partai politik peserta pemilu, dan pada saat pemerintahan Orde Baru, Presiden menguasai Golkar. Dengan demikian lengkaplah kekuasaan Presiden menguasai MPR, karena itu apapun yang dikehendaki Presiden tidak kuasa untuk ditolak oleh MPR.

MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara (TAP MPR No. III/1978), sedangkan lembaga negara yang lainnya adalah merupakan Lembaga Tinggi Negara dan Presiden memegang posisi sentral karena dialah mandataris MPR. Dengan cara berfikir yang demikianlah lembaga-lembaga negara yang lain melapor setiap tahun seperti pada periode 1999-2004.

Prinsip selanjutnya, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Majelis. Penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa di bawah MPR, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan negara. Kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the presiden). Presiden adalah mandataris MPR, dia tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

Dengan posisi mandataris itulah Presiden memiliki diskresi kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Di samping memegang kekuasaan eksekutif (executive power) , Presiden juga sekaligus memegang kekuasaan legislatif (legislative power). Di samping itu, Presiden sebagai kepala negara memegang kekuasaan lainnya, seperti kekuasaan tertinggi atas angkatan perang, menyatakan perang, membuat perdamaian, membuat perjanjian dengan negara lain dan lain lain seperti diatur pada pasal 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 UUD 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ketika lembaga-lembaga negara lain belum terbentuk Presiden dengan dibantu oleh sebuah komite nasional diberi kekuasaan untuk menjalankan kekuasaan lembaga-lembaga negara yang lain seperti MPR, DPR dan DPA (pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945). Dengan demikian UUD 1945, memang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden.

Meskipun demikian ditegaskan bahwa kekuasaan Presiden sebagai kepala negara tidak tak terbatas. Presiden senantiasa dapat diawasi oleh DPR, dan Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Karena itu Presiden harus dapat bekerja bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

Dengan kewenangan yang begitu luas diberikan UUD kepada Presiden dalam ketatanegaraan Indonesia, posisi Presiden menjadi sangat dominan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan kewenangan membentuk Undang-Undang dan menetapkan PERPU serta menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang, Presiden memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar untuk menggolkan dan membentuk Undang-Undang. Sementara, pada posisi lain, UUD memberikan keleluasaan dalam banyak hal mengenai penyelenggaraan negara yang diserahkan kepada Undang-Undang. Selama masa Orde Baru hanya beberapa Undang-Undang yang datang dari DPR (hampir seluruhnya dari Presiden), bahkan kultur ini masih berjalan sampai sekarang setelah perubahan UUD.

UUD 1945 hanya mengatur masa jabatan Presiden adalah 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali (pasal 5), dan tidak mengatur sampai berapa periode seseorang dapat menjabat sebagai Presiden, dan tidak juga mengatur mengenai mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya. UUD 1945 hanya mengatur mengenai penggantian Presiden oleh Wakil Presiden dalam hal Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya (pasal 8). Dalam praktek ketatanegaraan kita selama ini, persoalan ini telah menjadi perdebatan yang sangat panjang.

Menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR. Karena itu kedudukan menteri-menteri negara tidak tergantung DPR akan tetapi tergantung Presiden. Meskipun mereka adalah pembantu Presiden, tetapi menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa, karena menteri-menteri itulah yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktek. Menteri-menteri negara memimpin departemen.

Dalam praktek ketatanegaraan kita, menteri-menteri negara ini tidak saja memimpin departemen, karena ada menteri yang tidak memimpin departemen. Sementara pembentukan dan pembubaran departemen itu sendiri diserahkan kepada Presiden. Itulah sebabnya Presiden Abdurrahman Wahid berwenang membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada saat menjabat Presiden.

Lebih lanjut, penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa kedudukan DPR adalah kuat. Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Setiap saat DPR dapat mengawasi Presiden, dan jika dalam pengawasan itu DPR menemukan bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau yang telah ditetapkan oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk mengadakan persidangan istimewa agar bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.

Kewenangan DPR yang diatur dalam UUD 1945 sangat terbatas, yaitu memberi persetujuan atas Undang-Undang yang dibentuk Presiden (pasal 20 ayat 1 dan 2  pasal 5), memberi persetujuan atas PERPU (pasal 22), memberi persetujuan atas anggaran (pasal 23) dan persetujuan atas pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden. Kewenangan DPR untuk mengawasi pemerintah/Presiden dan kewenangan untuk meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden (fungsi kontrol) hanya diterangkan dalam penjelasan.

UUD 1945 juga tidak mengatur bagaimana memilih anggota DPR, dan tidak satupun kata pemilu dalam UUD ini. Karena adalah wajar anggota DPR itu ada yang diangkat dan ada yang dipilih melalui pemilu, tergantung pada Undang-Undang yang mengaturnya.

Di samping itu UUD 1945, juga mengintrodusir badan-badan negara yang lain seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). DPA hanya untuk memberi nasihat belaka kepada Presiden apakah diminta atau tidak diminta. DPA ini dijelaskan dalam penjelasan UUD adalah semacam “ Council of State”. Sedangkan BPK adalah badan negara yang diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, yaitu suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tapi tidak pula berdiri di atas pemerintah. Dalam praktek ketatanegaraan kita selama ini DPA ditempatkan sebagai Lembaga Tinggi Negara. Dalam posisi yang demikian dengan kewenangan yang sangan terbatas, keberadaan DPA ditata kembali dan ditempatkan posisi yang tepat menurut peran dan fungsinya.

Demikianlah sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam sistem seperti ini, MPR merupakan lembaga negara terpenting karena lembaga ini adalah penjelmaan kedaulatan rakyat. Setelah itu adalah Presiden, karena Presiden adalah “mandataris” MPR. Dengan demikian kelembagaan negara dalam sistem pemerintahan ini terstruktur, yaitu MPR memegang kekuasaan negara tertinggi sebagai sumber kekuasaan negara dan dibawahnya adalah Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah MPR. Sistem seperti ini tidak menganut prinsip check and balances , dan tidak mengatur pembatasan yang tegas penyelenggaraan kekuasaan negara. Karena kelemahan inilah dalam praktek ketatanegaraan Indonesia banyak disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai kehendak siapa yang memegang kekuasaan.

2.4.2   Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945

2.4.2.1  Prinsip Negara Hukum

Perubahan UUD 1945 mempertegas prinsip negara hukum dan mencantumkannya pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur dalam bab IX yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat. (Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.

Jaminan atas kekuasaan kehakiman yang merdeka ini tercermin dalam pemberian wewenang yang tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 dan mekanisme pengangkatan hakim agung yang dilakukan melalui mekanisme saling kontrol antara Komisi Yudisial, DPR, Presiden serta Mahkamah Agung, serta pengangkatan Hakim Konstitusi yang berjumlah 9 orang masing-masing 3 orang yang ditunjuk DPR, Presiden dan Mahkamah Agung.

Hak asasi manusia diatur sangat lengkap dalam Undang-Undang Dasar ini dalam Bab tersendiri, yaitu Bab XA yang terdiri atas 10 pasal dan 24 ayat (bandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya terdiri 2 pasal dan 1 ayat). Pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia baik bagi setiap warga negara maupun setiap orang yang berada dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

Implikasi yang diharapkan dari pengaturan mengenai kekuasaan kehakiman dan hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini adalah berjalannya pemerintahan yang berdasar atas prinsip due process of law, yaitu setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus berdasarkan atas ketentuan hukum. Tidak ada kebijakan yang boleh keluar dari hukum yang berlaku. Setiap kebijakan negara dan pemerintah dapat digugat oleh setiap orang atau warga negara manakala terjadi penyimpangan atau pelanggaran hukum terhadap hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi.

2.4.2.2  Sistem Konstitusional Berdasarkan Check and Balances

Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

Atas dasar semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar Undang-Undang Dasar yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui pemilihan umum.

Sistem yang dibangun berdasarkan perubahan ini adalah mempertegas dan merumuskan secara lebih jelas “ Sistem Konstitusional” yang telah disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu penyelenggaraan kekuasaan negara berdasar konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Kewenangan dan kekuasaan masing-masing lembaga negara diatur dan dirinci sedemikian rupa dan saling mengimbangi dan membatasi antara satu dengan yang lainnya berdasar ketentuan Undang-Undang Dasar. Inilah yang disebut sistem “check and balances” (perimbangan kekuasaan). Bahkan setiap warga negara dapat menggugat negara melalui organ negara yang bernama Mahkamah Konstitusi manakala ada tindakan negara yang melanggar hak-hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.

Sistem ini tetap dalam frame sistem Pemerintahan Presidensial, bahkan mempertegas Sistem Presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.

2.5    Negara Kesatuan Republik Indonesia

2.5.1   Definisi Negara

Banyak definisi tentang negara yang dikemukakan oleh para pemikir-pemikir besar kenegaraan sejak jaman Yunani Kuno hingga kini. Di abad modern sejumlah pakar ketatanegaraan memberikan definisi negaar, diantaranya:

Roger H. Soltan.

Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat.

Max Weber.

Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.

Robert M. Maclver.

Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penerbitan di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa.

Horld J. Laski.

Negara itu adalah puncak gedung pergaulan hidup masa ini, dan keistimewaan sifat negara itu terletak pada hak-haknya yang melebihi hak-hak persekutuan masyarakat. Jadi negara itu adalah satu alat guna mengatur tingkah laku manusia.

Jean Bodin.

Keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat.[6]

2.5.2   Negara Kesatuan

Menurut C.F. Strong: “Negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat.”[7]

2.5.3   Republik

Dalam pengertian dasar, sebuah Republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau “urusan awam”, yang artinya kerajaan dimiliki serta dikawal oleh rakyat.[8]

BAB III

PEMBAHASAN

 

3.1    Sistem Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI

Sistem dapat diartikan sebagai sebuah rangkaian yang saling berkaitan antara beberapa bagian samapai kepada bagian yang terkecil, bila suatu bagian atau sub bagian terganggu maka bagian yang lain juga ikut merasakan ketergangguan.

Hakekat sebenarnya dari keberadaan suatu sistem, sistem merupakan kerjasama suatu kelompok yang saling kait mengkait secara utuh, apabila suatu bagian terganggu maka bagian yang lain akan merasakan kendalanya. Namun demikian bila terjadi kerjasama maka terjadi hubungan yang sinergis yang melebihi kekuatan pembagian yang dijumlahkan karena muncul kekuatan baru sebagai gemanya.

Jadi sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait mengkait satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil, rusaknya salah satu bagian akan mengganggu kestabilan sistem itu sendiri secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia adalah suatu contoh sistem, dan anak cabangnya adalah sistem pemerintahan daerah, kemudian seterusnya sistem pemerintahan desa dan/kelurahan.

3.2    Tugas-Tugas Pemerintahan

Ryaas Rasyid membagi tugas-tugas pokok pemerintahan ke dalam tujuh bagian, yaitu:

  1. Pemerintah bertugas menjamin terciptanya kondisi keamanan negara dari segala kemungkinan terjadinya ancaman dari luar berupa penghancuran keamanan dan dari dalam berupa bentrokan antar warga yang menyebabkan tergulingnya pemerintahan yang sah.
  2. Memelihara ketertiban dengan mencegah terjadinya bentrokan antarwarga.
  3. Menegakkan keadilan kepada setiap warga negara tanpa membeda-bedakan statusnya, apapun yang melatarbelakangi keberadaan mereka.
  4. Melakukan pekerjaan umum dengan cara membangun fasilitas jalan, pendidikan, dan sebagainya.
  5. Meningkatkan kesejahteraan sosial, membantu orang miskin, memelihara orang cacat, anak terlantar, serta kegiatan sosial lainnya.
  6. Menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan rakyat banyak, seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong terciptanya lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik, dan sebagainya.
  7. Membuat dan menerapkan kebijakan pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.[9]

3.3    Lembaga-Lembaga Pemerintahan

3.3.1   Pemerintah Pusat dan Kewenangannya

Apa yang dimaksud dengan pemerintah pusat? Dalam UU No. 22 tahun 1999 jo. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom disebutkan bahwa pemerintah pusat ialah “perangkat negara kesatuan RI yang terdiri dari presiden beserta para menteri.”

Kedua peraturan perundang-undangan itu juga menyebutkan tentang wewenang pemerintah pusat mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Kewenangan bidang lain pemerintah ialah kebijakan tentang perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.

Menurut aturan yang telah ditetapkan pemerintah dalam PP No. 25 tahun 2000, kewenangan bidang lain ini meliputi bidang pertanian, kelautan, pertambangan, energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian, dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal kepariwisataan, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, pertanahan, pemukiman, perkerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan administrasi publik, pengembangan otonomi daerah, perimbangan keuangan, kependudukan, hukum dan perundang-undangan, olah raga dan penerangan.

Secara umum, kewenangan pemerintah pusat lebih besar porsinya pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur. Sebagaimana dapat dilihat dalam uraian di bawah ini, pemerintah pusat berwenang untuk:

  1. Menetapkan kebijakan pembangunan dalam skala makro;
  2. Menetapkan pedoman tentang standar pelayanan minimal dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota;
  3. Menetapkan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang;
  4. Menyusun rencana nasioanal secara makro;
  5. Menetapkan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan;
  6. Membina dan mengawasi penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi;
  7. Menetapkan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam;
  8. Mengelola dan menyelenggarakan perlindungan sumber daya alam di wiliyah laur di luar 12 mil;
  9. Mengatur penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama negara;
  10. Menetapkan standar pemberian izin oleh daerah;
  11. Mengatur ekspor-impor dan melaksankan perkarantinaan;
  12. Menanggulangi wabah dan bencana yang berskala nasional;
  13. Menetapkan arah dan prioritas kegiatan riset dan teknologi, termasuk penelitian dan pengembangan teknologi strategis dan berisiko tinggi;
  14. Menetapkan persyaratan kualifikasi usaha jasa;
  15. Mengatur sistem lembaga perekonomian negara.

Inilah bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Kewenangan ini bersifat regulatif. Adapula kewenangan pemerintah yang bersifat teknis dan terbatas pada suatu bidang yang bertujuan:

  1. Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;
  2. Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara;
  3. Menjamin efisiensi pelayanan umum yang sifatnya nasional;
  4. Menjamin keselamatan fisik dan nonfisik secara setaa bagi semua warga negara;
  5. Menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yanglangka, canggih, mahal dan berisiko tinggi, tetapi sangant diperlukan oleh bangsa dan negara seperti tenaga nuklir, teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan, dan sejenisnya;
  6. Menjamin supermasi hukum nasional;
  7. Menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat.

3.3.2   Pemerintah Daerah dan Kewenangannya

Pada masa Orde Baru, penyelenggaraan pemerintah daerah menggunkan modelsentralisasi, namun pada era reformasi, penyelenggaraan pemerintah daerah menggunakan model otonomi. Otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 jo. UU No. 32 tahun 2004. Undang-Undang ini menghapus UU No. 5 tahun 1975 yang sentralistik. Format baru pemerintah daerah di bawah UU No. 32 tahun 2004 diarahkan kepada terciptanya kemandirian daerah dengan meletakan suatu prinsip otonomi yang luas dan utuhh pada daerah kabupaten/kota. Asas utama penyelenggaraan pemerintah daerah dalam peraturan perundang-undangan ini menganut asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Ketentuan mengenai kewenangan daerah provinsi diatur melalui PP No. 25 tahun 2000, sedangkan kewenangan kabupaten/kota adalah kewenangan sisa yang tidak disebut dalam peraturan pemerintah tersebut.

Adapun kewenangan daerah provinsi sebagai berikut:

  1. Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya;
  2. Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota;
  3. Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah;
  4. Kewenangan melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan tugas yang menyangkut penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan pembangunan yang bersifat lintas kabupaten/kota;
  5. Kewenangan melaksanakan tugas yang dilakukan oleh satu kabupaten/kota lainnya.

Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, antara lain seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan. Kewenangan yang termasuk kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya, yaitu:

  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
  2. Pelatihan, alokasi, sumber daya manusia potensial dan penelitian yang mencakup wilayah provinsi;
  3. Pengelolaan pelabuhan regional;
  4. Pengendalian lingkungan hidup;
  5. Promosi dagang dan budaya/pariwisata;
  6. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman;
  7. Perencanaan tata ruang provinsi.

Kewenangan kabupaten/kota ialah:

  1. Kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, selain kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dikemukakan diatas;
  2. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidika dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, perindustrian dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

3.4    Lembaga-Lembaga Penyelenggara Pemerintahan

Lembaga-lembaga penyelenggara pemerintahan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

3.4.1   Lembaga Penyelenggara Pemerintahan Tingkat Pusat

  1. Departemen. Departemen merupakan unsur pelaksana pemerintah yang dipimpin oleh menteri negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
  2. Menteri Koordinator. Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi , dan tata kerja menko diatur melalui Keppres No. 100 tahun 2001. Tugas menko antara lain mengkoordinasikan penyiapan dan penyusunan kebijakan serta pelaksanaannya di bidang tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara.
  3. Menteri Negara. Kedudukan dan tugas menteri negara diatur melalui Keppres No. 101 tahun 2001. Tugas menteri negara ialah menangani bidang tugas tertentu dalam kegiatan pemerintah negara yang tidak ditangani oleh suatu departemen.
  4. LPND (Lembaga Pemerintahan Non Departemen). LPND merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden. Secara organisatoris, kedudukan LPND berada dibawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Melalui Keppres No. 103 tahun 2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja LPND, tugas LPND ialah melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Keppres No. 103 di atas, terdapat 25 LPND, yaitu:
  • Lembaga Administrasi Negara (LAN);
  • Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
  • Badan Kepegawaian Negeri (BKN);
  • Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS);
  • Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS);
  • Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL);
  • Badan Pusat Statistik (BPS);
  • Badan Standardisasi Nasional (BSN);
  • Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN);
  • Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN);
  • Badan Intelijen Negara (BIN);
  • Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG);
  • Badan Usaha Logistik (BULOG);
  • Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN);
  • Badan Penerbangan Antariksa Nasional (BAPAN);
  • Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasioanal (BAKORSUR TANAL);
  • Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
  • Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
  • Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
  • Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
  • Bada Pertanahan Nasional (BPN);
  • Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM);
  • Lembaga Informasi Nasional (LIN);
  • Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS);
  • Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BPBUD PAR).
  1. Kesekretariatan Lembaga Negara
  2. Kejaksaan Agung
  3. Perwakilan RI di Luar Negeri
  4. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
  5. Kepolisian Negara RI (POLRI)
  6. Lembaga Ekstra Struktural (Non Struktural)

3.4.2   Lembaga Penyelenggara Pemerintah Tingkat Daerah

Landasan konstitusional penyelenggaraan pemerintah daerah adalah UUD 1945 pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan ini berdasarkan hasil amandemen kedua. Kemudian dilengkapi dengan UU organik lainnya, yaitu UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumnya, Pemerintahan Daerah menggunakan UU Nomor 22 tahun 1999. Dalam pasal 132 ayat 2 UU ini dinyatakan bahwa pelaksanaan UU tentang Pemerintahan Daerah akan berlaku efektif selambat-lambatnya 2 tahun sejak ditetapkan. Jadi, UU ini baru berlaku pada taggal 7 Mei 2001. Akan tetapi, Tap MPR No. IV/MPR/2000 memberi rekomendasi kepada daerah yang telah siap untuk memulainya pada tanggal 1 Januari 2001.

Pokok-pokok yang terkandung dalam UU No. 32 tahun 2004 antara lain menyebutkan bahwa:

  1. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan RI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
  2. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adlah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
  4. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  5. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
  6. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
  7. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
  8. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.[10]

3.5    Lembaga-Lembaga Negara dan Kewenangannya

  1. 1.         Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Perubahan UUD 1945, telah mengubah susunan, kedudukan serta kewenangan MPR secara sangat prinsip. Perubahan ini dimulai dengan perubahan pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yang semula berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ”.

Ada tiga perubahan substansi dalam ayat ini, yaitu perubahan :

  1. Kata “adalah” diubah menjadi “berada”. Kata “adalah” menurut ahli bahasa adalah menunjukan definisi, pengertian atau memberi penjelasan. Dalam perumusan bahasa hukum dihindari penggunaan kata “adalah” dalam rumusan pasal kecuali pasal yang memberi pengertian atau penjelasan atas suatu istilah. Sedangkan substansi yang dimaksud dalam ayat ini adalah bukan untuk menjelaskan atau memberi pengertian atas suatu istilah tetapi menunjukkan “keberadaan” atau “posisinya”. Dengan demikian kata yang tepat untuk pengganti kata “adalah” yaitu kata “berada” yang menunjukkan posisi atau keberadaannya.
  2. Kata “dilakukan sepenuhnya” diubah menjadi “dilaksanakan”. Perubahan ini membawa perubahan makna yang penting dan mendasar dalam perumusan ayat ini, tidak sekedar perubahan kata-kata. Penggunaan kata “dilakukan sepenuhnya” berarti MPR adalah “pelaku” kedaulatan rakyat sepenuhnya dapat mengambil alih kedaulatan itu dari rakyat. Dengan demikian seluruh tindakan MPR adalah cerminan kedaulatan rakyat dan rakyat tidak dapat memprotes hal itu, karena “kedaulatan” telah diserahkan untuk dilakukan oleh MPR. Sedangkan kata “dilaksanakan” menunjukkan arti “dijalankan” atau diselenggarakan.
  3. Kata “oleh Majelis Permusyawaratan” diubah menjadi “menurut Undang-Undang Dasar”. Sebelum perubahan “kedaulatan rakyat dilakukan oleh MPR”, sedangkan setelah perubahan “kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD”. Pertanyaannya siapa yang melaksanakan kedaulatan rakyat menurut UUD? Perdebatan-perdebatan saat perubahan pasal ini dilakukan “kedaulatan rakyat” dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara bahkan oleh rakyat secara langsung sesuai yang diatur dalam UUD ini. Jadi tidak menunjuk pada satu lembaga negara tertrentu.

Perubahan ini juga membawa konsekwensi hilangnya supremasi MPR sebagai lembaga negara yang melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya seperti yang selama ini dikenal. Dengan demikian posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak relevan.

Disamping itu, perubahan terhadap MPR mencakup pula perubahan atas kewenangan dan susunan keanggotaannya. Perubahan sangat mendasar mengenai kewenangan MPR adalah menghapuskan dua kewenangan MPR yang penting yaitu kewenangan dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (pasal 3) serta kewenangan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 ayat 2). Penghapusan dua kewenangan ini saling terkait dan berhubungan. Karena Presiden tidak lagi diangkat oleh MPR, maka MPR tidak perlu lagi menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara untuk dijalankan oleh Presiden setiap lima tahun sekali. Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman penyelenggaraan negara tidak lagi ditetapkan setiap lima tahun oleh MPR akan tetapi tertuang dalam amanat pembukaan dan dalam pasal-pasal UUD 1945. Sedangkan pedoman kerja penyelenggaraan negara setiap tahun atau lima tahun atau lebih dari lima tahun dapat ditetapkan dalam Undang-Undang yang dibahas dan disetujui bersama oleh Presiden dan DPR. Dengan perubahan tersebut, posisi Presiden sebagai mandataris MPR juga menjadi tidak relevan.

MPR tidak memiliki kewenangan untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (pasal 6A). MPR hanya berwenang untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden. Pelantikan ini, hanyalah dalam rangka pengukuhan dan pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden yang telah terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat di hadapaan sidang MPR. Walaupun demikian MPR masih berwenang untuk memilih Wakil Presiden dalam hal jabatan Wakil Presiden dalam keadaan kosong, yaitu dari dua calon Wakil Presiden yang diajukan oleh Presiden, (pasal 8 ayat 2) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Calon Wakil Presidennya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada saat pemilu sebelumnya (pasal 8 ayat 3).

MPR tetap berwenang mengubah dan menetapkan UUD (pasal 3 ayat 1). Penambahan kata “mengubah” dalam ayat ini dimaksudkan agar tidak terjadi salah interpretasi bahwa MPR tidak berwenang untuk mengubah tapi hanya menetapkan saja. Dengan penambahan kata “mengubah dan” berarti MPR dapat mengubah dan menetapkan UUD atau menetapkan saja.

Perubahan mendasar lainnya adalah perubahan susunan keanggotaan MPR. Sebelum perubahan, anggota MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Setelah perubahan, anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum (pasal 2 ayat 1). Dua perubahan penting dalam pasal 2 ayat 1 ini adalah dihilangkannya utusan daerah dan golongan-golongan yang diganti dengan anggota DPD serta penegasan anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu. Terjadi perdebatan yang sangat panjang atas perubahan pasal Pasal 2 ayat 1 ini yaitu satu pihak terutama sebagian besar anggota dari fraksi utusan golongan menghendaki agar rumusan pasal 2 ayat 1 tetap mempertahankan adanya utusan golongan sebagai anggota MPR dan pihak lainnya menghendaki tidak perlu ada utusan golongan. Fraksi utusan golongan berpendapat bahwa utusan golongan ini tetap diperlukan untuk mengakomodir golongan-golongan dalam bangsa Indonesia yang tidak ikut dalam politik melalui pemilihan umum, lagi pula masih banyak golongan minoritas dan suku-suku yang tidak mungkin terakomodir dan terpilih dalam pemilu yang demikian berat untuk bisa terpilih baik sebagai anggota DPR maupun sebagai anggota DPD. Sebaliknya kelompok yang lain berpandangan bahwa utusan golongan tidak perlu lagi diakomodir secara khusus sebagai anggota MPR karena golongan itu semuanya bisa ikut pemilu dan kepentingan serta suaranya dapat diwakili oleh mereka yang dipilihnya dalam pemilu. Lagi pula, golongan-golongan itu tetap dapat mencalonkan diri baik sebagai anggota DPR maupun anggota DPD. Di samping itu kelompok ini memandang bahwa terdapat kesulitan untuk menentukan golongan mana saja yang berhak untuk mengutus wakilnya sebagai anggota MPR dan bagaimana mekanisme itu dilakukan. Akhirnya pengambilan keputusan atas pasal 2 ayat 1 ini dilakukan melalui pemungutan suara dalam Sidang Tahunan MPR bulan Agustus tahun 2002 dan mayoritas mutlak anggota MPR memilih untuk menghapuskan utusan golongan itu.

Penambahan kata “dipilih melalui pemilihan umum”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa seluruh anggota MPR itu baik yang berasal dari anggota DPR maupun dari anggota DPD tidak ada yang diangkat dan semuanya dipilih melalui pemilihan umum. Karena tidak ada penegasan dipilih dalam pemilihan umum dalam UUD sebelum perubahan maka ada anggota MPR yang diangkat bahkan jumlahnya sama dengan jumlah anggota DPR. Di samping itu ada anggota DPR yang tidak dipilih melalui pemilihan umum akan tetapi diangkat yaitu anggota ABRI/TNI-POLRI, walaupun mereka juga adalah golongan tetapi tidak termasuk utusan golongan. Penambahan kalimat terakhir ini, menunjukkan bahwa sistem perwakilan dalam demokrasi kita, mengharuskan semua anggota MPR dipilih melalui pemilihan umum dan tidak ada lagi yang diangkat.

Kata “dengan” dalam kalimat “diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” pada akhir ayat 1 ini dimaksudkan agar pengaturan mengenai MPR itu diatur dengan satu Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang tentang MPR, dan tidak digabung seperti sekarang ini. Karena itu ke depan tentang MPR ini harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Dalam pasal-pasal UUD 1945 ini penggunaan kata “dengan Undang-Undang” dan “dalam Undang-Undang” memiliki makna yang berbeda, kecuali untuk pasal-pasal asli yang tidak dirubah karena untuk mempertahankan nilai kesejarahan. Kata “dengan Undang-Undang” dimaksudkan agar diatur dalam Undang-Undang tersendiri, sedangkan kata “dalam Undang-Undang” dimaksudkan dapat diatur dalam Undang-Undang yang lain dan tidak harus tersendiri.

  1. 2.         Dewan Perwakilan Rakyat

Isu utama perdebatan para perumus perubahan UUD 1945 yaitu Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR RI pada perubahan pertama tahun 1999, adalah bagaimana menyempurnakan struktur ketatanegaraan yang ada. Begitu kompleks dan banyaknya persoalan yang disampaikan dalam perdebatan awal itu, maka perubahan yang disepakati pada perubahan pertama ini adalah bagaimana mengurangi dan membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat posisi DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang. Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden sedangkan DPR hanya memberi persetujuan (pasal 5 ayat 1). Sedangkan setelah perubahan, kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR (pasal 20 ayat 1), dan Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang.

Perubahan selanjutnya adalah mengenai proses dan mekanisme pembuatan Undang-Undang antara DPR dan Presiden yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4 dan 5, yaitu setiap rancangan Undang-Undang harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2), jika rancangan itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan Undang-Undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila Presiden dalam waktu tiga puluh hari setelah rancangan Undang-Undang itu disetujui bersama, Undang-Undang itu sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Perubahan-perubahan ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi DPR sejajar dengan Presiden dalam membentuk Undang-Undang. Perubahan ini mengandung makna bahwa untuk dapat terbentuknya Undang-Undang harus disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Walaupun seluruh anggota DPR telah menyetujui suatu rancangan Undang-Undang dan Presiden tidak setuju atau sebaliknya, maka rancangan Undang-Undang itu tidak dapat disahkan menjadi Undang-Undang.

Karena suatu rancangan undang-undang telah disetujui bersama sesuai ketentuan ayat 3, maka Presiden hanya mengesahkannya secara administratif saja untuk kemudian diundangkan dalam lembaran negara. Ketentuan ayat 5 ini menutup kemungkinan tidak disahkannya Undang-Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden. Undang-Undang itu dinyatakan sah dengan sendirinya tanpa pengesahan Presiden dan wajib diundangkan dalam Lembaran Negara apabila dalam waktu tiga puluh hari setelah persetujuan bersama, presiden tidak memberikan pengesahan. Ketentuan-ketentuan ini lahir karena latar belakang sejarah pembentukan Undang-Undang yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yakni beberapa rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah di DPR, tidak disahkan oleh Presiden sehingga rancangan Undang-Undang terkatung-katung dan tidak bisa diberlakukan. Pada masa pemerintahan Megawati, beberapa Undang-Undang tidak disahkan Presiden dalam waktu 30 hari sebagaimana ditentukan dalam ayat 4, dan Undang-Undang itu langsung dinyatakan sah dan diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Sekretaris Negara.

Perubahan selanjutnya mengenai DPR ini adalah mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR yang dalam UUD 1945 sebelum perubahan hanya disinggung dalam bagian penjelasan. Karena fungsi pengawasan ini dianggap penting dimiliki oleh DPR untuk berjalannya mekanisme kontrol antar lembaga negara, maka ketentuan dalam penjelasan UUD 1945 itu dimuat secara tegas dalam pasal-pasal UUD 1945 secara lebih jelas dan rinci sebagaimana diatur dalam pasal 20 A.

Pasal 20 ayat 1, mempertegas tiga fungsi yang dimiliki oleh DPR, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Penyebutan tiga fungsi ini tidak disebutkan secara tegas dalam UUD 1945 sebelum perubahan maupun penjelasannya, akan tetapi hanya diatur dalam Undang-Undang mengenai susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD dan dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan Indonesia. Karena itu, pasal 20 ayat 1, hanyalah penegasan atas praktek ketatanegaraan yang telah berjalan sebelumnya. Pasal 20 ayat 2 menegaskan hak yang dimiliki oleh DPR sebagai sebuah lembaga, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, sedangkan ayat 3, menegaskan hak yang dimiliki oleh setiap anggota DPR secara perorangan yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Disamping memiliki fungsi legislasi sebagaimana diuraikan di atas, DPR memiliki fungsi anggaran yaitu untuk membahas dan memberi persetujuan atas rancangan anggaran negara yang diajukan Presiden dalam bentuk rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta mengawasi penggunaannya. Berbeda dengan rancangan Undang-Undang lainnya yang dapat diajukan oleh DPR, terhadap RUU APBN hanya dapat diajukan oleh pemerintah, karena pemerintahlah yang mengetahui secara detail tentang kebutuhan dan penggunaan keuangan negara. Persetujuan anggaran merupakan fungsi yang sangat penting bagi DPR, karena dengan kontrol atas anggaranlah DPR dapat mengontrol pemerintah dengan efektif. Tanpa persetujuan pengeluaran anggaran dari DPR, Presiden tidak dapat mengeluarkan anggaran belanja negara. Karena itulah UUD 1945 menentukan bahwa apabila DPR tidak menyetejui RUU APBN yang diajukan pemerintah, maka yang berlaku adalah Undang-undang APBN tahun sebelumnya.

Dewan Perwakilan Rakyat juga memiliki fungsi-funsi lainnya yang tersebar dalam Bab-bab lain dari Undang-Undang Dasar ini yaitu :

  1. Mengusulkan pemberhentian Presiden sebagai tindak lanjut hasil pengawasan (Pasal 7A);
  2. Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang untuk itu (Pasal 9);
  3. Memberikan pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (Pasal 13);
  4. Memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi (Pasal 14 ayat 2);
  5. Memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11);
  6. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23F);
  7. Memberikan persetujuan atas pengangkatan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B ayat 3);
  8. Memberikan persetujuan atas pengangkatan Hakim Agung (Pasal 24A ayat 3);
  9. Mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim konstitusi (Pasal 24C ayat 3).

Perubahan penting lainnya mengenai DPR adalah menyangkut mekanisme pengisian anggota DPR yang semuanya harus melalui pemilihan umum. Hal ini berarti bahwa berakhir pula adanya anggota DPR yang diangkat yang dianut selama ini. Sebaliknya, diatur pula mekanisme pemberhentian anggota DPR yang diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang.

  1. 3.         Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Dengan perubahan UUD 1945 ini, dibentuk sebuah lembaga negara yang baru dan tidak dikenal dalam struktur ketatanegaraan kita sebelumnya yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembentukan DPD dimaksudkan untuk memberikan tempat bagi daerah-daerah menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerahnya sehingga memperkuat kesatuan nasional.

Terjadi perdebatan sangat panjang soal pembentukan DPD ini. Semula ada kelompok anggota MPR yang tidak setuju adanya DPD dan menganggap sudah cukup terwakili dalam utusan daerah yang berada pada MPR seperti yang diatur dalam UUD 1945 yang asli. Pada sisi lain, terdapat usulan dari kelompok anggota lainnya yang mengusulkan pembentukan DPD dengan posisi yang sama kuat dan kewenangannya dengan DPR, yang biasa dikenal dengan sistem bikameral (sistem perwakilan dengan dua kamar) yang kuat. Setelah melalui perdebatan panjang dan pertemuan-pertemuan lobby yang lebih informal disepakatilah pembentukan DPD dengan kewenangan terbatas dan tidak sama dengan DPR. Keterwakilan anggota DPR dengan anggota DPD yang sama-sama mewakili daerah di badan perwakilan tingkat nasional mengandung beberapa perbedaan prinsip, antara lain, walaupun anggota DPR dipilih berdasarkan daerah-daerah pemilihan dari seluruh Indonesia, namun anggota-anggota DPR itu dicalonkan dan berasal dari partai politik peserta pemilu, yang dalam posisinya sebagai anggota DPR mewakili dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya. Pada sisi lain, anggota DPD adalah berasal dari calon-calon perorangan dari daerah yang bersangkutan dan dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah tersebut. Pada posisi yang demikian, para anggota DPD hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan daerah yang diwakilinya. Hal ini sulit akan terjadi pada anggota dari partai politik, karena di samping mewakili kepentingan daerahnya juga mewakili kepentingan partai politiknya. Di samping itu, wakil rakyat yang duduk di DPR yang berasal dari suatu partai politik dan terpilih dari suatu daerah pemilihan dapat saja berdomisili atau berasal dari daerah lain yang bisa saja tidak begitu mengenal daerah yang diwakilinya. Hal ini sangat kecil kemungkinan terjadi bagi perwakilan daerah yang duduk sebagai anggota DPD, karena mereka dipilih secara perseorangan dalam pemilu secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Dalam perubahan UUD 1945 ini ditentukan dengan tegas bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C ayat 1), yang jumlahnya sama untuk setiap provinsi serta jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR (Pasal 22C ayat 2). Penegasan jumlah wakil yang sama dari setiap provinsi mengandung maksud bahwa setiap provinsi di Indonesia dipandang dan diperlakukan sama menurut UUD 1945, sekecil apapun daerah provinsi itu, karena daerah-daerah itu adalah bagian dari wilayah Indonesia yang menjadikan Indonesia bersatu. Kemudian, jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota DPR dimaksudkan agar perimbangan keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD tidak didominasi oleh anggota DPD. Jika tidak ada ketentuan itu, dikhawatirkan jumlah anggota MPR akan didominasi oleh anggota DPD yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah provinsi yang kecil jumlah penduduknya karena jumlahnya yang lebih banyak. Sehingga anggota-anggota MPR yang berasal dari daerah-daerah luar Jawa akan mendominasi anggota MPR, karena jumlah anggota DPD tidak dibatasi oleh Undang-Undang Dasar.

UUD 1945, memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD dalam bidang legislasi, anggaran serta pengawasan. Dalam bidang legislasi DPD hanya berwenang untuk mengajukan dan ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (pasal 22D ayat 2 dan 2). Walaupun disebutkan secara limitatif kewenangan DPD untuk mengajukan dan membahas RUU tersebut, namun kewenangan itu tidak terbatas pada lima macam RUU itu saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu segala RUU yang ada kaitannya dengan kelima jenis substansi RUU yang telah disebutkan itu. Di samping itu, DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (pasal 22D ayat 2). Keterlibatan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan RUU tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada DPD memberikan pandangan-pandangan dan pendapatnya atas RUU-RUU tersebut karena pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah. Kewenangan bidang pengawasan yang diberikan kepada DPD hanya terbatas pada pengawasan atas Undang-Undang yang terkait dengan jenis Undang-Undang yang ikut dibahas dan atau diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya. Hal ini dimaksudkan sebagai kesinambungan kewenangan DPD untuk mengawasi pelaksanaan berbagai RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Selain itu DPD juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas pengangkatan anggota BPK (Pasal 23F ayat 1). Latar belakang pemberian kewenangan ini karena BPK itu adalah mengawasi penggunaan uang dari UU APBN yang ikut diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya.

Banyak orang bertanya, kenapa kewenangan yang diberikan kepada DPD adalah terbatas dan tidak disamakan dengan DPR saja. Persoalan pokok yang menjadi perdebatan dalam membahas posisi dan kewenangan DPD adalah menyangkut sistem perwakilan yang hendak dibangun dalam Undang-Undang Dasar ini. Apakah menganut sistem perwakilan model bikameral dengan kewenangan yang sama antara dua kamar lembaga perwakilan itu atau sistem bikameral dengan kewenangan yang berbeda antara dua kamar lembaga perwakilan yang ada.

Dengan pertimbangan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan dimana para anggota DPD tidak seperti senator yang mewakili negara bagian dalam sistem negara federal akan tetapi mewakili bagian-bagian daerah Indonesia maka adalah tidak tepat menempatkan DPD dalam posisi yang sangat kuat seperti itu, DPR juga mewakili daerah-daerah pemilihan dari seluruh Indonesia. Pada sisi lain dari kajian studi banding sistem perwakilan di berbagai negara ternyata bahwa sistem perwakilan seperti ini adalah lazim dipergunakan bahkan sebagian besar sistem perwakilan itu menggunakan sistem dua kamar yang memiliki kewenangan yang tidak sama. Menempatkan wakil-wakil daerah dalam suatu lembaga perwakilan yang secara formal sederajat dengan lembaga perwakilan dan lembaga negara yang lain pada tingkat nasional dianggap cukup untuk kepentingan daerah dan kepentingan memperkuat kesatuan nasional kita.

Apalagi sistem perawikan yang kita anut bukanlah sistem bikameral akan tetapi masih sistem unikameral karena terdiri dari tiga kamar yaitu, DPR, DPD dan MPR, dimana anggota MPR adalah terdiri dari dari anggota DPR dan anggota DPD (bukan terdiri dari DPR dan DPD).

  1. 4.           Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Sebelum perubahan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditempatkan pada salah satu ayat saja, yaitu ayat 5 pasal 23 UUD 1945. Karena BPK ini memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan semangat untuk mengakomodir prinsip-prinsip yang termuat dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, maka BPK diatur dalam satu bab tersendiri.

Disamping itu, semangat perubahan pengaturan mengenai BPK dilatarbelakangi oleh berbagai masalah dalam praktek ketatanegaraan kita yaitu posisi yang lemah dan terlalu banyak instansi/lembaga pemerintah yang melakukan fungsi yang sama. Dengan semangat yang demikianlah BPK diatur dalam satu bab tersendiri, yaitu bab VIIIA, 3 pasal dan tujuh ayat. Pasal 23E mengatur tentang kewenangan BPK memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (ayat 1) yang hasilnya diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai kewenangannya (ayat 2) dan ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan atau badan lain sesuai undang-undang (ayat 3). Penambahan kata pengelolaan pada ayat (1) dimaksudkan untuk menegaskan bahwa BPK memeriksa pengelolaan keuangan negara dan dalam pengelolaan itu terkandung tanggung jawab tentang keuangan negara. Menurut UUD 1945 sebelum perubahan, hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR, sedangkan setelah perubahan ini hasil pemeriksaan BPK disampaikan juga kepada DPD karena DPD juga melakukan pengawasan atas APBN dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena pemeriksaan BPK termasuk juga pengelolaan keuangan daerah dalam APBD. Hasil pemeriksaan itu selanjutnya dipelajari oleh DPR, DPD, serta DPRD. Jika ditemukan adanya penyimpangan, DPR, DPD, atau DPRD dapat menindaklanjutnya dalam bentuk penggunaan hak-hak dewan atau disampaikan untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Jika BPK menemukan adanya tindak pidana, dapat diserahkan langsung kepada instansi penegak hukum.

Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan pengangkatannya diresmikan oleh Presiden (Pasal 23F ayat 1). Ketentuan ini bermaksud menegaskan bahwa proses final penentuan anggota BPK dilakukan oleh DPR setelah mempertimbangkan pendapat DPD, sedangkan Presiden hanya meresmikannya dalam bentuk surat keputusan pengangkatan secara administratif dan melantiknya.

BPK berkedudukan di Ibu Kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Latar belakang munculnya pasal ini adalah adanya kehendak para perumus UUD 1945 untuk menjadikan BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang melakukan pengawasan eksternal atas pengelolaan tanggung jawab keuangan negara karena selama ini terjadi tumpang tindih kewenangan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dengan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) yang merupakan lembaga pemerintah dan Inspektorat Jenderal setiap departemen, yang merupakan instansi pengawasan internal departemen yang bersangkutan. Karena itulah diamanatkan oleh UUD, bahwa BPK mendirikan perwakilan-perwakilan di setiap provinsi untuk memperluas jangkauan pemeriksaan BPK dan menggantikan peran BPKP selama ini, dan BPKP diintegrasikan ke dalam BPK.

  1. 5.         Presiden

Semangat perubahan UUD 1945 mengenai jabatan Presiden dilatarbelakangi oleh pengalaman ketatanegaraan kita selama ini yang menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden sangat besar, tidak ada pembatasan masa jabatan seseorang untuk menjadi Presiden serta mekanisme pemilihan Presiden yang hanya dilakukan oleh MPR dan tidak mapannya posisi Presiden yang setiap saat dapat dijatuhkan oleh MPR. Sistem presidensial yang dianut dan dilaksanakan menunjukkan kelemahan yang nyata. Setiap saat Presiden dapat dijatuhkan oleh parlemen (MPR) karena ketidak-sukaan MPR atas kebijakan-kebijakan Presiden. Perubahan ini dimaksudkan untuk membatasi beberapa kekuasaan Presiden, memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, serta memperkuat sistem Pemerintahan Presidensial sekaligus memperkuat posisi Presiden.

Dengan latar belakang dan maksud seperti itulah pada perubahan pertama UUD 1945, MPR mengubah pasal 5 UUD 1945, yaitu mengubah pasal 5 ayat 1, yang sebelumnya berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”, diubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Dengan perubahan ini, UUD 1945 telah mengubah kekuasaan Presiden di bidang legislatif dalam membentuk Undang-Undang. Kekuasaan legislatif itu diserahkan kepada DPR (Pasal 20 ayat 1). Walaupun pada kenyataannya DPR tidak memiliki kekuasaan mutlak (mandiri) untuk membentuk Undang-Undang dan tetap harus dilakukan bersama Presiden. Pada perubahan pertama juga diubah Pasal 7, mengenai jabatan Presiden sehingga seseorang hanya dapat menjabat sebagai presiden untuk dua periode saja. Pembatasan lainnya adalah mengenai kewenangan Presiden sebagai kepala negara untuk mengangkat duta dan menerima duta negara lain yang harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 2 dan 3), serta pemberian amnesti dan abolisi yang harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2).

Dengan keharusan memperhatikan pertimbangan DPR dalam mengangkat duta, Presiden diharapkan tidak terlalu bebas dalam pengangkatan duta itu, dan duta-duta yang dikirim ke negara-negara sahabat harus juga diketahui oleh DPR. Hal ini tidak berarti bahwa pengiriman duta-duta itu tergantung pada DPR, karena kewenangan pengiriman duta dan konsul tetap dimiliki oleh Presiden dan DPR hanya sebatas memberikan pertimbangan-pertimbangan. Demikian juga dalam hal menerima duta negara lain, jika tidak ada masalah dalam hubungan Indonesia dengan negara lain maka pemberian pertimbangan DPR yang berkaitan dengan penerimaan duta negara lain tidak harus dilakukan proses yang bertele-tele di DPR, cukup dengan pernyataan konfirmasi dari DPR, karena masalah ini terkait dengan kebiasaan dalam hubungan Internasional yang harus memperhatikan asas timbal balik (resiproritas) dalam tata pergaulan Internasional.

Sedangkan pertimbangan DPR atas pemberian Amnesti dan Abolisi dimaksudkan agar Presiden memperhatikan aspek-aspek politis dalam memberikan Amnesti dan Abolisi karena Amnesti dan Abolisi adalah menyangkut kebijakan yang sangat berpengaruh besar atas keadaan dan stabilitas negara.

UUD 1945 mengatur secara tegas syarat Presiden serta tata cara pemilihan dan pemberhentiannya Presiden dalam masa jabatannya. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan mekanisme demokrasi pemilihan Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat dan memperkuat sistem presidensil. Pada satu sisi, Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dengan suara mayoritas mutlak (Pasal 6A) akan memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, sedangkan pada sisi lain pemberhentian Presiden dipersulit baik dari segi alasan-alasan pemberhentian maupun prosesnya yang rumit. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat sistem Pemerintahan Presidensil, yaitu suatu sistem yang memberikan jaminan pada Presiden untuk memerintah dalam periode yang pasti (fixed periode) dan tidak mudah dijatuhkan oleh parlemen setiap saat seperti pada sistem parlementer.

Pasal 6 UUD 1945 sebelum perubahan hanya menentukan satu syarat seseorang bisa menjadi Presiden yaitu Presiden adalah orang Indonesia asli. Sedangkan dalam perubahan, syarat seorang untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6); paling tidak memenuhi tiga syarat yaitu sebagai berikut :

  1. Harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewargaangeraan lain karena kehendaknya sendiri;
  2. Tidak pernah mengkhianati negara;
  3. Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
  4. Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan dengan Undang-Undang.

Dihilangkannya syarat “orang Indonesia asli”, didasarkan pada pertimbangan bahwa sangat sulit untuk menentukan siapa sebenarnya orang Indonesia asli itu, karena orang-orang Indonesia sudah bercampur baur sedemikian rupa. Karena itu yang paling mudah dibuktikan adalah mengenai kemurnian kewarganegaraan seseorang sebagai syarat menjadi Presiden, yaitu apabila sejak kelahirannya telah menjadi warga negara Indonesia dan tidak pernah melepas kewarganegaraannya atas kemauan sendiri.

Pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A ayat 2). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peran bagi partai politik sebagai salah satu infrastruktur demokrasi yang sangat penting dalam sebuah negara demokrasi. Ini bukan berarti menutup kesempatan bagi calon yang tidak berpartai politik untuk menjadi pasangan Presiden atau Wakil Presiden karena dapat saja seseorang yang bukan kader partai politik diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Tidak dimungkinkannya calon independen yang dapat mengajukan diri sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya disebabkan oleh masalah teknis pencalonan itu sendiri yaitu bagaimana membatasi jumlah calon, sedangkan kita tidak menggunakan sistem pemilihan pendahuluan sebagai tahap penjaringan calon independen. Presiden yang terpilih adalah yang memperoleh suara mayoritas mutlak atau lebih dari lima puluh persen pemilih, karena dengan cara demikianlah bisa mendapatkan seorang Presiden yang terpilih dengan legitimasi yang kuat. Karena itu, jika dalam putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mencapai lebih dari lima puluh persen, maka harus dipilih kembali dari dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.

Alasan pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya dipersulit dan ditentukan secara limitatif dalam UUD 1945, yaitu :

  1. Terbukti telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya dan perbuatan tercela;
  2. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.

Sedangkan mekanisme pemberhentian harus dilakukan dengan melalui proses sebagai berikut (Pasal 7B), yaitu :

  1. Diajukan oleh DPR kepada MPR;
  2. DPR meminta pendapat Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden;
  3. Pendapat DPR tersebut terkait dengan fungsi pengawasan DPR;
  4. Didukung oleh minimal 2/3 anggota DPR hadir dengan korum minimal 2/3 anggota DPR;
  5. Mahkamah konstitusi membenarkan pendapat DPR;
  6. Diputuskan oleh MPR dengan suaru minimal 2/3 anggota MPR yang hadir dengan jumlah korum minimal ¾ anggota MPR.

Apabila Presiden mangkat, berhenti, atau diberhentikan, digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Jika posisi Wakil Presiden lowong maka MPR memilih Wakil Presiden dari dua orang calon yang diajukan oleh Presiden. Apabila Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan berhalangan tetap, maka pelaksana tugas kepresidenan dilaksanakan secara bersama-sama oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan ( triumvirat ) sampai terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden baru yang dipilih oleh MPR, dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang calon Presiden dan Wakil Presidennya memperoleh suara terbayak pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Dengan sistem yang demikian maka dapat dipastikan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat di Indonesia dilakukan secara tetap setiap lima tahun sekali.

Dewan Pertimbangan Agung yang diatur dalam bab IV pasal 16 UUD 1945 sebelum perubahan dihapus dan diganti dengan suatu dewan yang kedudukannya berada di bawah Presiden untuk menjalankan fungsi yang sama dengan fungsi DPA yang akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang.

  1. 6.         Kekuasaan Kehakiman

Perubahan pengaturan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945, dimaksudkan untuk mempertegas posisi kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dan pengaturan yang lebih lengkap tentang wewenang dari masing-masing lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman serta mekanisme pengisian anggota dari badan-badan kekuasaan kehakiman itu. Hal ini penting karena kekuasaan kehakiman yang bebas harus dijamin dan diatur secara tegas dalam undang-undang dasar agar tidak disalahgunakan.

  1. Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1). Kewenangan MA adalah mengadili pada tingkat kasasi atas setiap perkara yang diajukan kepadanya, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang (Pasal 24A ayat 1).

Dengan perubahan ini pula dipertegas empat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Walaupun pengadilan yang ada dalam empat lingkungan peradilan itu berada di bawah Mahkamah Agung bukan berarti MA dapat mempengaruhi putusan badan peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam tingkat kasasi. Sedangkan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang (Pasal 24 ayat 3). Badan-badan lain yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah misalnya kejaksaan, kepolisian, advokat/pengacara dan lain-lain.

  1. Komisi Yudisial (KY)

Pembentukan Komisi Yudisial oleh UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa kekuasan kehakiman yang merdeka tidak bisa dibiarkan menjadi sangat bebas tanpa dapat dikontrol dan diawasi, walaupun pengawasan itu sendiri dalam batas-batas tertentu. Itulah sebabnya dibentuk Komisi Yudisial dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta perilaku hakim serta mengusulkan pengangkatan hakim agung. Komisi Yudisial itu sendiri adalah suatu badan kehakiman yang merdeka yang berada dalam lingkunan kekuasaan kehakiman tapi tidak menyelenggarakan peradilan. Untuk menjamin kredibilitas komisi ini, maka syarat-syarat untuk menjadi anggota komisi ini seseorang harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan pengabdian yang tidak tercela. Pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

  1. Mahkamah Konstitusi (MK)

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution) . Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara harus dilandasi dan berdasarkan konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan diluruskan oleh Mahkamah konstitusi melalui proses peradilan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi diberikan wewenang oleh UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD;
  2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
  3. Memutus pembubaran partai politik;
  4. Memutus sengketa pemilu;
  5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Hakim konstitusi terdiri dari 9 orang yang ditetapkan oleh Presiden dari calon yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Dengan demikian 9 orang hakim konstitusi itu mencerminkan perwakilan dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif, legislatif dan eksekutif.

3.6    Negara Kesatuan Republik Indonesia

Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak Otonomi (Negara Kesatuan Dengan Sistem Desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasan tertinggi tetap ditangan pemerintah pusat.

Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu:

  1. Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”
  2. Pasal 18 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”.
  3. Pasal 25A yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang.”

BAB IV

PENUTUP

 

4.1              Kesimpulan

Sistem pemerintahan negara Indonesia menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Negara Indonesia menjalankan sistem pemerintahan Presidensial, yang mana presiden memegang kekuasaan sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan diatur berdasarkan UUD 1945.  Presiden dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh satu orang Wakil Presiden, dan dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Sedangkan tugas menteri-menteri adalah menyelenggarakan sebahagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidangnya masing-masing. Di dalam penyelenggaraan pemerintahan ada yang disebut dengan aparatur pemerintah dimana apartur pemerintah itu adalah Instansi-instani pemerintah baik di pusat maupun di daerah beserta pejabat/pegawai negerinya.

Dalam sistem penyelenggaraan negara ada yang disebut dengan aparatur negara, aparatur negara adalah lembaga-lembaga negara berdasarkan UUD 1945 dan perubahannya. Lembaga-lembaga kenegaraan di tingkat pusat/nasional di pegang oleh Presiden dan Wakil Presiden selaku badan Eksekutif, (MPR, DPR, dan DPD) selaku badan Legislatif, (Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi) selaku badan Yudikatif, dan BPK selaku badan Auditif/Eksplanatif. Sedangkan di tingkat provinsi di pegang oleh Gubernur/Wakil Gubernur selaku badan Eksekutif, (DPRD Provinsi) selaku badan Legislatif dan di tingkat Kabupaten/Kota di pegang oleh Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota selaku badan Eksekutif, (DPRD Kabupaten/Kota) selaku badan Legislatif.

Dalam sistem pemerintahan ini, lembaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda. Setelah adanya perubahan/amandemen UUD 1945 tidak ada kedudukan lembaga tertinggi, melainkan semuanya sama sebagai lembaga-lembaga tinggi negara.

4.2              Tindak Lanjut

Indonesia  merupakan  Negara  kesatuan  yang  berbentuk  Republik.  Dimana Negara  ini  menganut  sistem  Presidensial.  Seharusnya  presiden  sebagai kepala  Negara  sekaligus  kepala  pemerintahan  bisa  melaksanakan kewajiban  keduanya  dengan  baik.  Presiden  sebagai  kepala  pemerintahan  harus  mampu  mengkondisikan  sistem  pertahanannya  dengan  baik,  karena pada  kenyataannya  sistem  yang  berjalan  belum  bisa  dikatakan  berhasil  membuat  rakyat  makmur. Sesuai  dengan  tujuan  pemerintahan  Indonesia.

Indonesia  adalah  Negara  hukum  sesuai  pasal  1  ayat  3,  Dimana  hukum  benar – benar  ditegakkan.  Saat   ini  pelanggaran – pelanggaran  sedang  maraknya  terjadi  di Negara  baik  warga  Negara  maupun  dari  badan  pemerintahannya   itu   sendiri.  Maka  bedasarkan  asas  keadilan  hukum  harus  di jatuhkan   kepada   pihak – pihak  yang  bersalah  dengan  seadil – adilnya  tanpa  memandang  apapun.  Dan harusnya  hukum  itu  bersifat  konsisten  artinya  tidak  dapat  dibeli  dengan  apapun.  Pemerintah  beserta  lembaga  negaranya  harus  mampu  bekerjasama  demi  mencapai  tujuan  bersama,  karena  sistem  tidak  dapat  dijalankan  tanpa  ada  keseimbangan  antara  satu  dan  yang  lainnya.

Lembaga  Negara  harus  mampu  menjalankan  kewajiban  dan  wewenangnya  dengan   baik,  agar  wacana  yang  berkembang  di  masyarakat  bahwa  pejabat  Negara  hanya  berpoya – poya  dengan  gaji  fasilitasnya  yang  diberikan  Negara  segera  dihapuskan.

Negara  Indonesia  yang  berbasis  Negara  kesatuan  setidaknya  harus  mampu  menyatukan  etnik – etnik  atau  budaya – budaya  di Indonesia   agar  keberagaman  itu  menjadi  sebuah  keistimewaan  tersendiri  bukan  menjadi  sumber  perpecahan,

DAFTAR PUSTAKA

 

Mahmud, Abdullah dkk. 2000. Tata Negara. Gontor Ponorogo: Darussalam Press.

Setijo, Pandji. 2009. Pendidikan Pancasila. Jakarta: PT Grasindo.

http://www.setneg.go.id

http://witantra.wordpress.com

http://id.wikipedia.org

Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya.

Mahmud, Abdullah dkk. 2000. Tata Negara. Gontor Ponorogo: Darussalam Press.

Hidayat, Komarudin dkk. 2010. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ranadireksa, Hendarmin. 2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik. Bandung: Fokusmedia.

Syafiie, Kencana, dkk. 2009. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

 


[1] Inu Kencana Safiie danAzhari, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 3.

[2] Ramdani Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 145.

[3] Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV

[4] Abdullah Mahmud dan Suyoto Arief, Tata Negara, (Gontor: Darussalam Press, 2000), hlm. 92.

[6] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokusmedia, 2007), hlm. 25.

[7] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 269.

[9] Ramdani Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 147.

[10] Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.